Di
tengah – tengah “rusaknya” karakter generasi calon-calon akademis kita,
terutama di mulai dari perkotaan, yang ditandai dengan banyaknya kasus
kriminalitas, narkoba, tawuran antar sekolah atau mahasiswa dan sebagainya,
menunjukkan masih rendahnya hasil kuwalitas pendidikan di negeri ini.
peristiwa
perkelahian atau tawuran pelajar (data Bimmas Polri metro jaya) tahun
1992-1994-1995-1998- sampai sekarang, terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Anehnya lagi kenapa polisi sebagai
penegak hukum selalu kecolongan dari kejadian-kejadian itu? Bahkan peristiwa
itu sudah dianggap biasa.
Kasus
yang mencoreng institusi pendidikan merupakan kejadian yang sangat pahit dan
memalukan dalam dunia pendidikan, baik itu pelajar maupun mahasiswa. Ini sebagai
akibat tak seriusnya perhatian oleh pemangku kebijakan nasional terhadap dunia
pendidikan.
Tanpa
penciptaan pelajar atau mahasiswa yang berkarakter(berbudi luhur) kita sulit
membayangkan apa jadinya negeri ini kelak, bila calon-calon akademisi lebih
mementingkan egonya masing-masing? sangat mungkin kerusakan moral bangsa akan
semakin parah, yang ditandai dengan terjadinya dekadensi moral di masyarakat.
Kemudian,
Perbedaan yang seharusnya diandalkan di lingkungan sekolah/kampus adalah
kemampuan berfikir,berbudi pekerti, dan prestasi kreatifitas, bukan adu otot,
bangga antar geng, dan bangga kemenangan kelompok, ini jelas sangat primitif
sekali.
Di
sini yang menjadi akar masalah tawuran antar pelajar ataupun mahasiswa (menurut
penulis) sedemikian komplek, yang meliputi faktor sosiologis, budaya,
psikologis dan juga kebijakan pendidikan.
Kalau
kita lihat dari kacamata psikologi terdapat sedikitnya empat faktor psikologi
mengapa seorang remaja dewasa terlibat perkelahian:
Faktor Pertama internal, remaja yang terlibat
perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan
yang kompleks.
Faktor Kedua keluarga, Rumah tangga yang
dipenuhi kekerasan jelas akan berdampak pada anak ketika menginjak usia remaja/dewasa.
Faktor Ketiga institusi, sekolah ataupun kampus
bukan lagi dipandang sebagai lembaga yang mencetak para akademisi, akan tetapi mereka
anggap sebagai tempat pelarian dari kejenuhan aktifitas di rumah.
Faktor Keempat Krisis identitas, perubahan
biologis dan sosiologis pada diri remaja/dewasa memungkinkan terjadinya dua
bentuk integrasi, pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam
kehidupannya, kedua, tercapainya identitas peran, kenakalan remaja terjadi
karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
Dari faktor tersebut
penulis memberikan Solusi sebagai berikut:
1.
Menindak tegas Rektor/kepala
sekolah/wali kelas yang dinilai gagal membina murid/mahasiswa (gagasan
mendikbud)
2.
Membudayakan pendidikan karakter
mulltikultural (lebih mengedepankan akhlakul karimah) dilingkungan kampus atau
sekolah sebagaimana di pesantren.
3.
Peran aktif
orang tua dan guru2 saling mengontrol (di luar jam
sekolah/kuliyah) para siswa/i yg
bermasalah, jangan di kucilkan.
4.
Intropeksi dari semua pihak untuk
merencanakan sesuatu yang menghasilkan perubahan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar