Rabu, 04 Maret 2009

PENAWARAN SOLUSI TAWURAN


Di tengah – tengah “rusaknya” karakter generasi calon-calon akademis kita, terutama di mulai dari perkotaan, yang ditandai dengan banyaknya kasus kriminalitas, narkoba, tawuran antar sekolah atau mahasiswa dan sebagainya, menunjukkan masih rendahnya hasil kuwalitas pendidikan di negeri ini.
peristiwa perkelahian atau tawuran pelajar (data Bimmas Polri metro jaya) tahun 1992-1994-1995-1998- sampai sekarang, terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Anehnya lagi kenapa polisi sebagai penegak hukum selalu kecolongan dari kejadian-kejadian itu? Bahkan peristiwa itu sudah dianggap biasa.
Kasus yang mencoreng institusi pendidikan merupakan kejadian yang sangat pahit dan memalukan dalam dunia pendidikan, baik itu pelajar maupun mahasiswa. Ini sebagai akibat tak seriusnya perhatian oleh pemangku kebijakan nasional terhadap dunia pendidikan.
Tanpa penciptaan pelajar atau mahasiswa yang berkarakter(berbudi luhur) kita sulit membayangkan apa jadinya negeri ini kelak, bila calon-calon akademisi lebih mementingkan egonya masing-masing? sangat mungkin kerusakan moral bangsa akan semakin parah, yang ditandai dengan terjadinya dekadensi moral di masyarakat.
Kemudian, Perbedaan yang seharusnya diandalkan di lingkungan sekolah/kampus adalah kemampuan berfikir,berbudi pekerti, dan prestasi kreatifitas, bukan adu otot, bangga antar geng, dan bangga kemenangan kelompok, ini jelas sangat primitif sekali.
Di sini yang menjadi akar masalah tawuran antar pelajar ataupun mahasiswa (menurut penulis) sedemikian komplek, yang meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis dan juga kebijakan pendidikan.
Kalau kita lihat dari kacamata psikologi terdapat sedikitnya empat faktor psikologi mengapa seorang remaja dewasa terlibat perkelahian:
Faktor Pertama internal, remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.
Faktor Kedua keluarga, Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan jelas akan berdampak pada anak ketika menginjak usia remaja/dewasa.
Faktor Ketiga institusi, sekolah ataupun kampus bukan lagi dipandang sebagai lembaga yang mencetak para akademisi, akan tetapi mereka anggap sebagai tempat pelarian dari kejenuhan aktifitas di rumah.
Faktor Keempat Krisis identitas, perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja/dewasa memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi, pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya, kedua, tercapainya identitas peran, kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
Dari faktor tersebut penulis memberikan Solusi sebagai berikut:
1.      Menindak tegas Rektor/kepala sekolah/wali kelas yang dinilai gagal membina murid/mahasiswa (gagasan mendikbud)
2.      Membudayakan pendidikan karakter mulltikultural (lebih mengedepankan akhlakul karimah) dilingkungan kampus atau sekolah sebagaimana di pesantren.
3.      Peran aktif orang tua dan guru2 saling mengontrol (di luar jam sekolah/kuliyah) para siswa/i yg bermasalah, jangan di kucilkan.
4.      Intropeksi dari semua pihak untuk merencanakan sesuatu yang menghasilkan perubahan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar