Kamis, 28 Maret 2013

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE

Pendahuluan

Good Government Gonernance (GGG) sampai detik ini masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud sampai dengan lima-enam tahun mendatang. Hal ini ditengarai dengan tidak adanya ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum yang secara nyata telah diputar balikkan dengan mudah. Misalnya, beberapa kasus dugaan “penyuapan” yang dilakukan oleh orang-orang intelektual,  yang akhirnya bermuara kepada kasus dugaan tindak pidana korupsi, telah membuat masyarakat awam menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun satu fakta yang jelas bisa ditangkap oleh mata hati orang awam adalah adanya “ketidak beresan” didalam menjalankan tata aturan yang

telah ditetapkan dan diatur melalui seperangkat peraturan yang telah diketahui dan disepakati sebelumnya. Ketidak beresan tersebut akan menjadi bencana nasional jika akhirnya terkait dengan masalah pengelolaan keuangan dalam jumlah yang relatif besar, walaupun bagi pihak yang terlibat dalam konspirasi jumlah tersebut masih dianggap kecil, karena sudah terlalu seringnya mereka “bermain” dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Di Daerah, usaha Good Government Gonernance juga masih berjalan ditempat. Banyak contoh yang menunjukkan betapa tranparansi dan akuntabilitas publik masih merupakan komoditi yang sangat mahal. Para penyelenggara pemerintahan di Daerah sampai saat ini masih lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan pelayanan kepada masyarakat. Politik uang telah merasuk ke segala sektor, mulai dari proses pemilihan Kepala Daerah, perubahan APBD sampai dengan penyampaian laporan pertanggungjawaban APBD. Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur, Bupati, ketua DPRD, Hakim pengadilan, Polisi dan sebagainya mendominasi pemberitaan mengenai ketidak seriusan didalam pengelolaan keuangan daerah. Dan kemudian, apabila didalam setiap persidangan kasus korupsi timbul suatu “dagelan” mengenai saling tuduh dan saling ingkar, yang akhirnya diperburuk lagi dengan putusan pengadilan yang “kurang pas’ dimata umum, semakin menambah berat permasalahannya karena faktor kolusi akan masuk didalam mekanisme penyelesaian kasus pidana korupsi tersebut. Prinsip praduga tak bersalah, akan “dibenarkan’ untuk menjadi tidak bersalah melalui proses peradilan. Secara de jure memang itulah keputusannya, tetapi secara de facto masih sangat dipertanyakan, karena didalam sistem peradilan kita tidak diberlakukan sistem pengujian terbalik dengan cara menelusuri kembali (trace back) terhadap asal-usul kekayaan yang mereka miliki.
  Sungguh merupakan satu pertanyaan yang sangat mengganggu jika kita melihat seorang PNS golongan dan pangkat tertentu, dengan gaji yang sudah terstruktur, dalam kenyataannya
mampu memliki kekayaan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya. Berdasarkan hukum positip kita harus “berpraduga tidak bersalah” terhadap orang tersebut dan masyarakatpun tidak berhak mempermasalahkannya, selama yang bersangkutan tidak terjerat oleh permasalahan hukum.
Reinventing Government : Implikasi terhadap APBD
Dalam bukunya Reinventing Government, David Osborne dan Ted Gaebler (1992) mengatakan bahwa dewasa ini kita masih saja selalu bertanya, sistem anggaran manakah yang lebih baik: apakah anggaran tradisional yang line-item atau anggaran yang berdasar pada misi (mission-driven budgeting) atau bahkan anggaran berbasis kinerja (performance budgeting)?. Sistem line-item merupakan pola anggaran yang menekankan pada sisi input (gaji, belanja barang, perjalanan dinas, dan lain-lain) sedangkan anggaran kinerja lebih menekankan pada sisi output (apa yang hendak dicapai). Pada umumnya, dalam penyusunan anggaran pemerintah lebih memilih untuk menggunakan sistem anggaran yang line-item dengan pertimbangan lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh pelaksana. Menurut Osborne dan Gaebler (1992), terdapat tiga alasan mengapa hal ini tejadi:
Pertama, anggaran tradisional sudah lama dipakai dan diterapkan sehingga sudah sangat melekat di pemerintahan, sehingga para birokrat kurang berminat untuk mengganti sistem yang sudah dianggap mapan tersebut.
 Kedua, keinginan dari para politikus untuk tetap mempertahankan fungsi pengontrolan atas beberapa pengeluaran penting yang akan lebih mudah dilakukan melalui cara-cara anggaran yang line-item.
 Ketiga, adanya krisis kepercayaan legislatif terhadap eksekutif, dimana para anggota legislatif selalu tidak percaya terhadap ulah para birokrat, meskipun tindakan itu untuk memperbaiki manajemen. Sebenarnya, masalah reformasi penganggaran (budget reform) di pemerintahan merupakan bagian dari reformasi pemerintahan secara keseluruhan. Reformasi penganggaran ini memfokuskan pada bagaimana pemerintahan harus mentransformasi organisasinya, yang semula sarat dengan peraturan perundangan, menjadi suatu organisasi yang berorientasi pada misi dan visi yang jelas, sesuai dengan tujuan dibentuknya organisasi tersebut.
Terdapat tiga hal pokok yang harus ditransformasi dalam unit organisasi sektor publik, yaitu: (1) mengubah pemerintahan yang penuh dengan peraturan perundangan menjadi organisasi yang berorientasi pada misi, (2) mengubah penganggaran yang line-item menjadi penganggaran yang berorientasi pada misi, dan (3) mengubah sistem kepegawaian yang berdasarkan pada peraturan perundangan menjadi sistem yang berorientasi pada misi.
“........... Most public organizations are driven not by their missions, but by their
rules and their budget. They have a rule for everything that could conceivably go wrong
and a line item (budget) for every subcategory of spending in every unit of every department ..............” (Osborne & Gaebler, 1992 h. 110).
Khusus reformasi keuangan yang disebut pada butir 2, yaitu mengubah anggaran dari line item menjadi anggaran yang berbasis misi, merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena menyangkut banyak aspek yang harus dipertimbangkan dengan matang. Dalam makalahnya yang berjudul “APBD Berbasis Kinerja”, Prodjoharjono mengungkapkan bahwa tedapat 4 (empat) pertimbangan dalam mengubah anggaran tersebut.
 Pertama, pengetahuan mengenai anggaran yang berbasis kinerja selama ini hanya populer di kalangan akademisi saja. Pengetahuan tentang Planning,Programming, Budgeting System (PPBS) dan Zero Based Budgeting (ZBB) jarang diperkenalkan kepada pejabat keuangan di daerah.  Kedua, anggaran yang line item yang berbasis input sudah menjadi tradisi di pemerintahan sejak lama. Teknik anggaran ini, disamping mudah dipahami, juga mudah diimplementasikan baik pada saat penyusunan anggaran maupun dalam pelaksanaan anggaran.
 Ketiga, mengubah anggaran line item menjadi anggaran kinerja juga menyangkut perubahan struktur organisasi sehingga cocok untuk anggaran kinerja. Struktur organisasi tidak lagi dibagi-bagi berdasarkan atas urusan yang ditangani, namun harus diubah menjadi berbasis peranan yang diemban dalam memberikan layanan jasa kepada masyarakat.
keempat, perubahan dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja tidak hanya menyangkut perubahan format anggaran, namun juga menyangkut perubahan pola pikir (mindset) yang sangat mendasar pada setiap pelaku di Daerah (Prodjoharjono, 2001).
Anggaran Kinerja : Sebuah Gambaran Teoritis
Anggaran kinerja mulai diimplementasikan di Amerika Serikat pada tahun 1960-an yaitu di Departemen Pertahanan. Namun, sebenarnya sistem anggaran ini sudah direkomendasikan oleh Hoover Commision di depan Kongres AS pada tahun 1949. Menurut Hoover, sistem anggaran ini terbagi ke dalam tiga elemen pokok: mengklasifikasikan program dan aktivitas pemerintahan, pengukuran kinerja, dan penyusunan laporan kinerja (Glynn, 1993). Pemerintah AS mengadopsi PPBS secara penuh bagi pemerintah federal di bawah pemerintahan Presiden Johnson. Anggaran kinerja ini diintroduksi karena adanya “kegagalan” yang melekat dalam sistem tradisional yang antara lain berorientasi pada input dan tidak dapat menggambarkan pencapaian tujuan suatu organisasi. Disamping itu, anggaran line item juga berorientasi pada uang yang tersedia dalam anggaran, sehingga sistem anggaran hangus juga melekat didalamnya (Henley et all, 1992). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan anggaran kinerja dibutuhkan adanya pejabat perencana dan keuangan yang handal karena sistem ini memerlukan analisis biaya dan manfaat, analisis biaya efektif, serta pengukuran kinerja yang tidak mudah dilaksanakan oleh tingkat manajemen tradisional. Langkah pembenahan dalam mengimplementasikan PPBS terbagi atas 5 proses:
(1) Memformulasikan tujuan umum organisasi beserta unit-unit dalam organisasi tersebut. Prioritas tujuan mana saja yang harus dicapai terlebih dahulu juga harus ditentukan, (2) Menetapkan dan memperbandingkan beberapa alternatif program yang dapat dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan dengan basis 3E’s (efektif, efisien dan ekonomis), (3) Menghitung total biaya yang digunakan untuk menjalankan program dan membandingkannya dengan manfaat yang akan dicapai, (4) Memilih program yang benar-benar efisien dan efektif, dan mengintegrasikannya ke dalam program yang menyeluruh untuk kemudian dilaksanakan,
(5) Me-review hasil dari pelaksanaan program berdasarkan kinerja. Namun sistem anggaran kinerja mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: lemahnya SDM di sektor pemerintahan, diperlukannya banyak formulir, dan sulitnya obyektivitas dari pemilihan alternatif maupun prioritas (Jones, R, 1996).

Anggaran Daerah di Indonesia : Kondisi Pra PP 105/2000
Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Penyusunan APBD, sebagai petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. PP dan Kepmendagri tersebut berisi perubahan yang mendasar di bidang pengelolaan keuangan daerah yang dulu diatur dengan PP 5/1975 dan PP 6/1975. Pada intinya, prosedur penganggaran di Indonesia menganut sistem campuran, yaitu: untuk pos rutin menggunakan penganggaran line item yang incremental, dan untuk pos pembangunan menggunakan penganggaran PPBS atau ZBB yang dimodifikasi. Tetapi, khusus pada pemodifikasian PPBS atau ZBB ini, yang dimodifikasi atau dihilangkan justru bagian yang paling penting yaitu keharusan dibuatnya alternatif pilihan untuk menghasilkan output atau tujuan program/kegiatan. Karena absennya pilihan alternatif ini, maka analisis SWOT yang menjadi kunci keberhasilan PPBS atau ZBB tidak dapat dijalankan. Hasil akhirnya tentu saja PPBS hanya merupakan suatu saintifikasi artifisial dalam penganggaran pada pemerintah Indonesia. Karena, untuk setiap proyek tidak ada kajian pemilihan cara yang paling efisien, efektif dan ekonomis, sehingga akhirnya besarnya anggaran proyek ditentukan oleh proses tawar menawar antara pihak perencana anggaran (Bappeda) dan unit kerja yang akan mengelola proyek. Kondisi tersebut diatas diperburuk oleh adanya kenyataan bahwa Bappeda juga mempunyai proyek-proyek untuk dirinya sendiri yang angka penolakan (rejection rate) nya sangat kecil karena mereka sendirilah yang akan menyetujui atau menolak proyek tersebut. Jadi disini Bappeda memegang fungsi perencanaan sekaligus juga berfungsi sebagai pelaksana proyek.Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, kondisi APBD pra PP 105/2000 secara umum dan singkat dapat diuraikan sebagai berikut (Prodjoharjono, 2000) :
APBD dibagi ke dalam pos rutin dan pos pembangunan dengan kriteria yang kurang jelas.
Standardized accounting system berlaku secara seragam untuk pengelolaan keuangan daerah di Propinsi maupun Kota/Kabupaten, dengan mengacu pada Manual Administrasi Keuangan Daerah yang disusun oleh Departemen Dalam Negeri pada tahun 1980.
Adanya sistem yang berbasis kas (cameraal stelsel); penerimaan atau pengeluaran diakui pada saat uang kas (bank notes dan coins) benar-benar telah diterima atau dibayarkan oleh Kas Daerah.
Adanya kebijakan sentralistik; pelaksanaan anggaran diurus secara sentral oleh Biro/Bagian Keuangan dengan menempatkan bendaharawan-bendaharawan di setiap unit kegiatan (rutin maupun proyek).
Pengelolaan keuangan di setiap unit kerja tidak efisien dan boros. Suatu unit kerja yang mengelola 10 proyek misalnya, disamping mempunyai bendaharawan rutin dan bendaharawan proyek, juga membutuhkan 10 pimpinan proyek dan 10 bendaharawan yang secara fungsional tidak saling berhubungan satu sama lain.
Administrasi keuangan yang dikelola bendaharawan pada unit kerja atau proyek adalah serba tertutup. Orang yang mengetahui penggunaan uang di unit kerja atau proyek hanyalah pemimpin proyek (Pimpro) dan bendaharawan saja. Tidak ada satu orangpun yang terlibat dalam proyek dapat mengetahui apa yang diadministrasikan oleh bendaharawan.
Bendaharawan mengerjakan seluruh fungsi keuangan yang seharusnya dikerjakan secara terpisah: penyimpanan, pengadministrasian dan pertanggunjawabannya ke Bagian Verifikasi di Bagian/Biro Keuangan.
Penerimaan sumber keuangan daerah dengan menggunakan sistem target mudah dimanipulasi dengan cara sengaja merendahkan target agar mudah dicapai, tidak berdasarkan pada performance related revenues.
Transfer dari rekeinng proyek di pos pembangunan ke rekening aktiva tidak ada jurnal memorialnya sama sekali
Laporan keuangan disusun atas dasar realisasi dari setiap item anggaran, dan bukan merupakan bagian integral dari pengumpulan dan peringkasan data yang hampir semuanya dalam bentuk appendiks.
Unit penyusunan rencana anggaran adalah Bappeda, Biro/Bagian Binagram dan Bagian/Subbag Anggaran di Biro/Bagian Keuangan yang semuanya juga berfungsi sebagai pusat pengeluaran (expenditure centre), sehingga membuka peluang adanya negosiasi proyek dan marking up .(Bappeda biasanya mempunyai proyek yang paling banyak jumlahnya; disamping banyak proyek yang dimiliki oknum Bappeda dengan meminjam nama Dinas, Biro atau Bagian lain).
Adanya pengawasan berdasarkan kesesuaian (compliance) dengan peraturan perundangan tanpa melihat apakah suatu pengeluaran didasarkan atas efisiensi, efektifitas dan penghematan.
Pelaksanaan dianggap baik jika seluruh dana yang dianggarkan dapat terserap semuanya (semakin boros semakin baik), sehingga hal ini dimanfaatkan oleh proyek atau unit kerja untuk selalu menghabiskan anggaran.
Penentuan prioritas pengeluaran pada suatu tahun anggaran yang mestinya didasarkan pada program jangka panjang dan menengah tidak pernah dijalankan karena dikalahkan oleh pertimbangan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh unit di pemerintah daerah.
Biaya untuk membuat APBD sangat mahal. Dengan melihat kondisi eksisting anggaran yang demikian rapuh tersebut, sangat wajar kalau peleksanaan anggaran di pemerintah daerah mudah dimanipulasi dan berpotensi untuk bocor.
PP No. 105 Tahun 2000 : Revolusi Bidang Keuangan Daerah
Dengan dikeluarkannya PP N0. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, maka telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam bidang pengelolaan keuangan daerah yang selama ini menganut pola sebagaimana diatur dalam PP No. 5/1975 tentang Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP No. 6/1975 tentang Tatacara Penyusunan Perhitungan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Perubahan-perubahan yang mendasar tersebut antara lain :
Penyusunan APBD berubah dari sistem tradisional yang berorientasi pada input ke anggaran kinerja, dengan input-input yang dikelompokkan dalam output yang telah ditetapkan sebagai bagian dari misi Daerah.
Sistem penganggaran yang berimbang dan dinamis berubah menjadi sistem anggaran defisit, dimana pendapatan pada suatu tahun anggaran tidak harus dihabiskan.
Format APBD yang semula hanya terdiri dari Pendapatan dan Belanja berubah menjadi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Komponen terakhir ini merupakan tempat penampungan surplus atau defisit karena adanya selisih antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah. Dengan demikian, Pinjaman Daerah dan Sisa Lebih Tahun Lalu yang dulu diklasifikasikan ke dalam Pos Pendapatan Daerah, dalam sistem baru, diklasifikasikan ke dalam transaksi Pembiayaan.
Klasifikasi Belanja pada APBD yang dulu dibagi ke dalam Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan berubah ke dalam Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal. Belanja Tidak Tersangka dan Belanja Bantuan, Sumbangan dan Ganjaran yang dulu dimasukkan ke dalam belanja rutin berubah menjadi pos tersendiri.
Belanja pada sistem APBD lama tidak dipisahkan ke dalam Belanja Aparatur dan Belanja Publik, sementara sistem baru dipisahkan ke dalam Belanja Publik dan Belanja Aparatur.
Beberapa istilah diganti. Kepala Daerah yang dulu disebut sebagai otorisator diganti dengan istilah Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah (PKUPKD). Satu perangkat daerah baru diperkenalkan yaitu Bendahara Umum Daerah, yang merupakan perluasan fungsi dari Pemegang Kas Daerah atau Kantor Kas Daerah. Akibatnya, Pemegang Kas Daerah dan Kantor Kas Daerah tidak dikenal lagi dalam sistem yang baru. Di samping itu, istilah Bendaharawan, baik Rutin, Pembangunan maupun Barang, dihapus dan digantikan dengan istilah Pemegang Kas dan Pemegang Barang. Istilah DUKDA/DUPDA juga diganti dengan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan DIKDA/DIPDA diganti dengan istilah Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK). Dengan perubahan-perubahan tersebut, tampak telah terjadi “revolusi” di bidang pengelolaan keuangan daerah. Penyusunan APBD telah berubah ke suatu paradigma baru yang tidak saja menyangkut perubahan format, tetapi juga menyangkut perubahan pola pikir (mindset) para pelaku penyelenggara pemerintahan Daerah.
Kepmendagri 29/2002 : Instrumen Perwujudan Good Governance
Kepmendagri 29 tahun 2002 telah ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2002 untuk memberikan pedoman kepada Daerah dalam menyusun peraturan perundangan di Daerah. Kepmendagri ini merupakan petunjuk pelaksanaan PP No. 105/2000, sehingga posisinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PP itu sendiri. Hal ini tidak bertentangan dengan Tap MPR No. III Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa tata urutan peraturan perundangan adalah UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Keppres, dan Perda. Keputusan Menteri tetap mempunyai kekuatan hukum yang mengikat meskipun tidak tercantum secara eksplisit dalam tata urutan peraturan perundangan, karena keberadaan Keputusan Menteri dipandang dari adanya amanat pada peraturan perundangan induknya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP). Dengan demikian PP Nomor
105 tahun 2000 merupakan induk dari Kepmendagri nomor 29 tahun 2000.13 Kepmendagri ini disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
Adanya perubahan yang tidak drastis dan dilaksanakan secara bertahap. Hal ini tercermin dalam pola penyusunan APBD yang pada dasarnya tetap menggunakan sistem lama namun dengan istilah baru; penerbitan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU), misalnya masih sama dengan cara lama,; dan formulir yang digunakannya pun sebagian besar masih menggunakan format lama.
Kode rekening distandarisasi dan diklasifikasikan berdasarkan kewenangan daerah yang tercantum dalam PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Sebagai Daerah Otonom, agar penyusunan statistik nasional menjadi lebih mudah.
Sistem dan prosedur tata usaha keuangan tidak diatur secara khusus, karena disadari bahwa struktur organissi pemerintah antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
Berisi rambu-rambu regulasi yang nantinya akan dituangkan dalam peraturan perundangan di daerah masing-masing.
Memberikan contoh-contoh konkrit tentang formulir, tatacara, prosedur tertentu dan format peraturan perundangan yang akan dibuat dalam rangka melaksanakan pengelolaan keuangan Daerah. Sebagaimana disebutkan di atas, Kepmendagri ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari PP 105/2000. Maka dari itu, hal-hal yang baru dalam Kepmendagri ini merupakan hal-hal yang baru juga dalam PP 105/2000. Hal-hal yang baru tersebut antara lain :
�� Penyusunan kode rekening mempertimbangkan pedoman dari Government Financial Statistics (GFS) untuk Pemerintah Nasional yaitu Buku Tahunan Statistik dari seluruh negara di dunia yang diterbitkan oleh IMF.
�� Anggaran adalah berbasis kinerja dan melibatkan masyarakat secara langsung mulai dari penjaringan aspirasi masyarakat untuk meminta pendapat atas rancangan APBD maupun rancangan PAPBD.
�� Adanya struktur baru dalam APBD yang terdiri dari Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan.
�� Belanja dibagi ke dalam Belanja Administrasi Umum (BAU), Belanja Operasi dan Pemeliharaan (BOP), Belanja Modal, Belanja Tidak Tersangka dan Belanja Bantuan Keuangan (kepada Daerah Bawahan).
�� Teknik Akuntansi berubah dari pembukuan tunggal (single entry) menjadi pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping).
�� Dasar akuntansi berbasis kas modifikasian yaitu pencatatan sehari-hari berdasarkan kas masuk dan kas keluar, sedangkan penutupan buku pada akhir tahun dilakukan dengan: (1) menyesuaikan pembukuan dan (2) mengakui adanya utang, piutang, serta aset daerah yang nantinya dicantumkan dalam neraca.
�� Adanya pencantuman Kebijakan Akuntansi yang dipakai oleh Pemerintah Daerah yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun karena standar akuntansi ini belum ada, kebijakan akuntansi yang dipakai oleh Daerah masih menggunakan contoh pada lampiran Kepmendagri.
�� Adanya pengintegrasian pencatatan akuntansi kas dan barang, sementara sebelumnya pembukuan untuk barang belum pernah dilaksanakan.
�� Diperkenalkannya lembaga baru yang disebut Bendahara Umum Daerah (BUD) sebagai perluasan fungasi Kantor Kas Daerah atau Pemegang Kas Daerah (PKD). BUD mengelola tidak hanya uang kas saja, namun juga mempunyai fungsi menyimpan bukti kepemilikan kekayaan Daerah lainnya, misalnya BPKB, Sertifikat Tanah, Tanda Utang, Tanda Piutang, Kontrak-kontrak dengan pihak ketiga, dan lainlain.
�� Diperkenalkannya lembaga nonstruktural yang disebut Satuan Pemegang Kas (SPK) sebagai pengganti Bendaharawan Rutin dan Bendaharawan Pembangunan. SPK ini terdiri dari seorang Pemegang Kas dan dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang Kasir, seorang Pencatat Akuntansi, dan seorang Pembuat Dokumen. Dikenalkan pula SPK Pembantu yang berada di Unit Pelaksana Teknis.
�� Diperkenalkannya Dana Depresiasi yang berasal dari penghirungan Depresiasi atas Aktiva Tetap selain Tanah yang secara langsung digunakan untuk operasional oleh Pemerintah Daerah. Dana ini digunakan untuk penggantian aktiva tetap pada akhir umur ekonomis.
�� Diperkenalkannya SPMU Giro yang tidak lagi diserahkan kepada penerima uang, namun langsung diberikan kepada BUD, dimana nantinya BUD menerbitkan cek (cheque) yang uangnya dicairkan oleh penerima uang di bank yang ditunjuk.
Penyusunan APBD Berbasis Kinerja
Berbeda dengan penyusunan APBD sistem lama, dalam sistem baru ini diperkenalkan penganggaran yang berbasis kinerja dengan Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dan Rencana Tahunan Daerah (Rentada) sebagai dasar penyusunan APBD. Pasal 4 ayat 2 PP No. 105 Tahun 2000 menyatakan bahwa Daerah harus menetapkan Renstra atau dokumen perencanaan lainnya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Kepala Daerah dilantik, sehingga saat ini setiap Daerah dianggap sudah mempunyai Renstrada sebagai acuan utama dalam menyusun APBD. Dalam Renstrada tersebut tentu saja sudah ada program atau kegiatan yang akan dilaksanakan setiap tahun meskipun sifatnya masih sangat tentatif. Proses penyusunan anggaran diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan baik oleh eksekutif maupun legislatif. Hal-hasil yang dihasilkan dari penjaringan aspirasi masayarakat ini kemudian diformulasikan oleh masing-masing pihak. Pihak eksekutif, disamping memperhatikan hasil penjaringan aspirasi juga harus mempertimbangkan kebijakan yang berskala nasional serta penjabaran tahunan dalam Renstrada.
Selain itu, eksekutif juga harus mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya serta kapasitas Daerah dalam menghasilkan pendapatan pada tahun yang akan datang. Hasil ini dirangkum dalam draft Arah dan Kebijakan Umum Daerah, yang kemudian dibahas bersama-sama dengan legislatif untuk mencapai kesepakatan. Setelah draft tersebut disetujui oleh kedua belah pihak, maka jadilah “Arah dan Kebijakan Umum Daerah” sebagai dokumen Rencana Tahunan Daerah (RETADA) untuk tahun yang akan datang.
Dengan dasar dokumen tersebut, penjabaran Retada tersebut disusun ke dalam dokumen “Strategi dan Prioritas” sebagai dasar pelaksanaan program dan kegiatan masing-masing Satuan Kerja yang akan dijabarkan dalam bentuk rupiah dalam APBD. Dengan demikian, masing-masing Satuan Kerja sekarang dapat menyusun “Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK)” yang dulu dikenal dengan istilah DUKDA/DUPDA. RASK ini merupakan usulan program dan kegiatan dari masing-masing Satuam Kerja. Setelah dilakukan kompilasi atas seluruh RASK oleh Tim Anggaran Eksekutif, maka draft RAPBD disusun guna dibahas di eksekutif dengan seksama. Hasilnya adalah berupa RAPBD yang disampaikan kepada DPRD untuk dibahas. Sebelum mulai membahasnya, DPRD wajib mensosialisasikan RAPBD tersebut kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan langsung. Masukan-masukan ini, yang bisa berasal dari LSM, mantan pejabat Daerah atau mantan anggota DPRD, dari kalangan akademisi, kemudian didokumentasikan dan ditata untuk dilampirkan pada Perda tentang APBD. Berapa lama sosialisasi berlangsung diserahkan kepada Daerah masing-masing, sesuai dengan aspirasi yang berkembang di Daerah yang bersangkutan. Setelah melalui pembahasan antara pihak eksekutif dan legislatif, maka RAPBD kemudian berubah menjadi APBD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, sedangkan penjabarannya dituangkan dalam Keputusan Kepala Daerah. Berdasarkan Perda APBD ini, RASK yang telah disetujui masuk dalam APBD kemudian dimasukkan ke dalam Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) yang merupakan perubahan DIKDA/DIPDA dalam sistem lama.
Pelaksanaan Tata Usaha dan Akuntansi Keuangan Daerah
PP No. 105 Tahun 2000 pada dasarnya masih mengenal pemisahan fungsi Otorisator, Ordonator dan Komptabel (Bendahara) sebagaimana dianut sebelumnya. Hal ini terlihat pada PP tersebut yang menetapkan Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah (PKUPKD) yang (harus) mendelegasikan kekuasaannya kepada Sekretaris Daerah dan atau Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Fungsi minimal yang didelegasikan adalah fungsi Bendahara Umum Daerah. Dalam konteks ini, fungsi otorisator adalah tetap pada Kepala Daerah dan ordonatornya adalah Biro/Bagian Keuangan atau Badan Pengelola Keuangan Daerah, sedangkan komptabelnya adalah Bendahara Umum Daerah (BUD) dan Satuan Pemegang Kas (SPK).
Dengan keluarnya PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29/2002, maka paradigma baru dalam sistem akuntansi sekaligus diciptakan. Sebagaimana diketahui, sistem administrasi pengelolaan keuangan Daerah berdasarkan sistem lama merupakan sistem yang terpisah dengan sistem keuangan lainnya, seperti antara lain: sistem administrasi pendapatan daerah, sistem administrasi unit pelayanan daerah (parkir, RS, dan sebagainya), sistem administrasi barang daerah. Sistem-sistem tersebut sulit untuk digabung menjadi satu sistem informasi secara terintegrasi. Maka dalam paradigma baru nantinya, mestinya sistem pengelolaan keuangan daerah merupakan induk dari sub-sub sistem administrasi pendapatan daerah, sub sistem adminsitrasi unit pelayanan Daerah parkir, RS dan sebagainya), serta sub sistem administrasi barang daerah.
Proses Perubahan Pengelolaan Keuangan Daerah : Sistem Lama ke Sistem Baru
Kepmendagri N0. 29/2002 mengamanatkan kepada Daerah untuk secara bertahap melakukan penilaian aset Daerah dalam rangka penyusunan neraca daerah untuk yang pertama kalinya. Hal ini perlu dilakukan karena dalam sistem lama tidak ada rekening neraca (real atau capital accounts) selain kas yang eksis. Barang daerah, misalnya, tidak pernah dimasukkan ke dalam catatan akuntansi, karena tidak ada rekening aktiva selain Kas dalam Daftar Kode Rekening (Chart of Accounts). Barang daerah hanya dicatat dalam Daftar Inventaris Barang yang dikelola oleh Biro atau Bagian Perlengkapan yang orientasinya lebih kepada safeguard atas aset tersebut agar tidak dicuri atau diambil alih. Padahal, Biro atau Bagian Perlengkapan mempunyai fungsi menginventarisasi barang dalam rangka program pemeliharaan (maintenance). Untuk itu perlu dilakukan revitalisasi fungsi akuntansi dengan pengintegrasian pencatatan antara uang kas dan aset daerah. Prasyarat untuk bisa mewujudkan ini adalah, mau tidak mau aset yang dicatat oleh Biro atau Bagian Perlengkapan harus di-update dengan cara penilaian kembali terhadap aktiva tetap oleh lembaga independen yang mempunyai sertifikat di bidang penilaian aset (asset appraisers), agar nilai yang tercantum dalam neraca akan benarbenar menggambarkan nilai ekonomis dari aset keseluruhan milik Daerah. Sejauh ini, neraca yang telah disusun oleh beberapa Daerah pada dasarnya merupakan neraca sementara yang belum dapat dikategorikan sebagai neraca yang dapat digunakan dalam rangka akuntabilitas publik. Suatu pelaporan keuangan dikatakan baik apabila ia memenuhi kritria-kriteria tertentu, yang antara lain: mudah dimengerti, dihasilkan dari data yang dapat dipercaya, hanya menyajikan data keuangan yang relevan, dan menyajikan hal-hal yang konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penilaian aset harus dilakukan oleh Daerah meskipun biayanya mahal dan memakan waktu cukup lama. Harus dimengerti bahwa kalau dibandingkan antara manfaat dengan biayanya, maka kegunaan jangka pendek kelihatannya sangat tidak bermanfaat, namun kalau dilihat dari kegunaan dalam jangka panjang, maka biayayang dikeluarkan tersebut menjadi relatif kecil, mengingat bahwa dalam jangka panjang kegunaannya sangat banyak, misalnya: pengembangan potensi Daerah, penerbitan obligasi daerah, dan sebagainya yang tujuannya adalah untuk memperoleh sumber dana bagi Daerah.
Tantangan Yang Dihadapi
Upaya mewujudkan Good Government Governance sampai sejauh ini belum terlihat kemajuannya, baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Padahal, sudah banyak usaha dilakukan untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, baik dengan cara melengkapi instrumen peraturan perundangan maupun dengan beberapa gebrakan yang dilakukan oleh sebagian kecil aparat penegak hukum dan aparat Pemerintah Melihat materi Kepmendagri No. 29/2002 sebagaimana diuraikan di atas, Kepmen tersebut diharapkan menjadi salah satu instrumen dalam rangka meminimalisasi praktik KKN, sekaligus menjadi instrumen terwujudnya Good Government Governance (GGG), khususnya di lingkungan Pemerintah Daerah. Kepmendagri yang merupakan petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000 ini diharapkan mampu menjawab tantangan pelaksanaan otonomi daerah, terutama di bidang pengelolaan keuangan daerah. Namun, harus disadari bahwa pelaksanaan transisi dari sistem lama ke sistem baru memerlukan kesabaran dan waktu yang panjang. Perubahan format anggaran dapat dilaksanakan dalam waktu singkat, namun perubahan pola pikir (mindset) memerlukan waktu yang relatif panjang. Beberapa tantangan utama dalam upaya mewujudkan Good Government Governance adalah transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan responsivitas. Transparansi tidak berarti “ketelanjangan”, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari pemerintah. Akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban secara bertingkat ke atas, dari organisasi manajemen paling bawah hingga Kepala Daerah. Akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban secara finansial yang diberikan Kepala Daerah kepada masyarakat. Fairness merupakan pertanggungjawaban atas pelaporan keuangan pemerintah daerah yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam konteks moral, sehingga diharapkan munculnya moralitas yang tinggi dari aparat Pemerintah Daerah dalam menjalankan pekerjaannya, baik secara internal maupun secara eksternal. Responsibilitas merupakan pertanggung jawaban Pemerintah Daerah secara kebijakan. Dalam konteks ini, penilaian pertanggung jawaban lebih mengacu pada etika korporat, termasuk dalam hal ini etika profesional dan etika manajerial. Responsivitas merupakan tingkat kepekaan Pemerintah Daerah dalam merespon bukan saja kebutuhan publik, melainkan juga keluhan internal dan eksternal, serta kebutuhan tak tampak yang dirasakan perlu untuk dipenuhi. Dengan mencermati tantangan-tantangan tersebut, tampak bahwa faktor yang krusial dalam GGG adalah akurasi dari informasi, khususnya informasi finansial dari Pemerintah Daerah. Bahkan kalau lebih difokuskan, inti dari Good Government Governance adalah good accounting, karena permasalahan pokok di dalam GGG adalah bagaimana perjalanan pemerintahan daerah dapat dipertanggungjawabkan, dengan bottom line berupa pertanggungjawaban finansial. Apabila kualitas Pemerintah Daerah saat ini dan di masa yang akan depan ditentukan oleh kualitas Good Government Governance, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa inti dari kualitas pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh kualitas pengelolaan keuangannya.
Dalam bukunya, Introduction to Management Accounting, Horngren mengatakan bahwa sistem pengelolaan keuangan yang baik akan membantu organisasi dalam mencapai tujuannya dengan cara menjawab tiga jenis pertanyaan berikut :
- Scorecard questions : Am I doing well or poorly?
- Attention Directing Question : Which problem should I look into?
- Problem Solving Question : Of the several ways of doing a job, which is the best?
Informasi Scorekeeping merupakan informasi untuk pihak eksternal, informasi problem solving merupakan informasi bagi pimpinan dalam rangka perencanaan jangka panjang dan pembuatan keputusan-keputusan khusus, sedangkan perpaduan antara scorekeepingattention direction-problem solving membantu para pimpinan untuk menyusun perencanaan dan pengendalian rutin operasi.
Penutup
Di Indonesia, sebagian besar Pemerintah Kota/Kabupaten dianggap telah memahami mengenai sistem pengelolaan keuangan daerah, walaupun untuk realisasinya belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Bahkan yang muncul justru semakin maraknya berita mengenai banyaknya penyimpangan yang tejadi di daerah, baik yang dilakukan oleh jajaran eksekutif (Pemkot/Pemkab) maupun oleh jajaran legislatifnya (DPRD). Kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi kontrol yang seharusnya dilakukan oleh jajaran legislatif (DPRD) tidak bisa berjalan dengan semestinya, bahkan disinyalir ada persekongkolan diantara mereka, sehingga muncul berbagai kebocoran di segala sektor.
Demikian juga dengan keberadaan lembaga-lembaga pemeriksa keuangan yang berfungsi melakukan pembinaan internal terhadap pelaksanaan sistem pengelolaan keuangan daerah, juga belum menunjukkan kinerja yang maksimal, terbukti masih banyaknya dugaan penyimpangan yang terjadi di Daerah. Berita mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme beserta bunga rampainya, sudah merupakan menu harian bagi masyarakat Indonesia yang bisa dibaca, didengar dan dilihat di berbagai media yang ada. Dengan melihat kenyataan yang ada, muncul berbagai pertanyaan yang selalu menggelitik nurani kita, baik yang berkaitan dengan etika di dalam pengelolaan keuangan daerah maupun etika bagi para pengelolanya.
o Apakah para pelaksana yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah telah bekerja tidak saja dengan kepala, tetapi juga dengan hati ?
o Apakah pisau kompetensi yang mereka miliki telah dipergunakan untuk membedah “pasien yang sakit” sehingga benar-benar bisa sembuh karenanya ?
o Atau apakah pisau yang sama tersebut justru digunakan untuk menikam seseorang yang nyawanya diincar ?
o Apakah para pengelola keuangan daerah telah bekerja sebagai seorang ahli pemerintahan saja, atau dia juga ahli pemerintahan yang berjalan sebagai manusia dengan ketakwaan kepada Ilahi, bahwa kemampuan yang mereka miliki haruslah untuk setinggi-tingginya digunakan untuk memuliakan namaNya ?
Referensi
Departemen Dalam Negeri. 2002. Kepmendagri No. 29/2002 Tentang PedomanPengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tatacara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Jakarta.
Glynn, JJ. 1993. Public Sector Financial Control and Accounting. Blackwell Business,
Oxford.
Henley, D, A Likierman, J Perrin, M Evans, I Lapsley & J Whiteoak. 1992. Public Sector Accounting and Financial Control. Chapman & Hall, London.
Horngren, Charles T. Gary L. Sundem, and William O. Stratton. 1996. Introduction to Management Accounting. Prentice Hall, New York.
Jones, R H, M Pendlebury. 1996. Public Sector Accounting., 4th edition. Pitman Publishing, London.
Osborne, D & T Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Company, London.
Prodjoharjono, S. 2001. APBD Berbasis Kinerja : Sebuah Impian. Makalah pada Seminar di Badan Litbang Departemen Dalam Negeri (unpublished). Jakarta.
Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar