Good Government Gonernance (GGG)
sampai detik ini masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan terwujud
sampai dengan lima-enam tahun mendatang. Hal ini ditengarai dengan tidak
adanya ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum yang secara nyata telah
diputar balikkan dengan mudah. Misalnya, beberapa kasus dugaan
“penyuapan” yang dilakukan oleh orang-orang intelektual, yang akhirnya
bermuara kepada kasus dugaan tindak pidana korupsi, telah membuat
masyarakat awam menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Namun satu fakta yang jelas bisa ditangkap oleh mata hati orang awam
adalah adanya “ketidak beresan” didalam menjalankan tata aturan yang
telah ditetapkan dan diatur melalui seperangkat peraturan yang telah diketahui dan disepakati sebelumnya. Ketidak beresan tersebut akan menjadi bencana nasional jika akhirnya terkait dengan masalah pengelolaan keuangan dalam jumlah yang relatif besar, walaupun bagi pihak yang terlibat dalam konspirasi jumlah tersebut masih dianggap kecil, karena sudah terlalu seringnya mereka “bermain” dengan jumlah yang jauh lebih besar.
telah ditetapkan dan diatur melalui seperangkat peraturan yang telah diketahui dan disepakati sebelumnya. Ketidak beresan tersebut akan menjadi bencana nasional jika akhirnya terkait dengan masalah pengelolaan keuangan dalam jumlah yang relatif besar, walaupun bagi pihak yang terlibat dalam konspirasi jumlah tersebut masih dianggap kecil, karena sudah terlalu seringnya mereka “bermain” dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Di Daerah, usaha Good Government Gonernance juga
masih berjalan ditempat. Banyak contoh yang menunjukkan betapa
tranparansi dan akuntabilitas publik masih merupakan komoditi yang
sangat mahal. Para penyelenggara pemerintahan di Daerah sampai saat ini
masih lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan pelayanan
kepada masyarakat. Politik uang telah merasuk ke segala sektor, mulai
dari proses pemilihan Kepala Daerah, perubahan APBD sampai dengan
penyampaian laporan pertanggungjawaban APBD. Kasus korupsi yang
melibatkan Gubernur, Bupati, ketua DPRD, Hakim pengadilan, Polisi dan
sebagainya mendominasi pemberitaan mengenai ketidak seriusan didalam
pengelolaan keuangan daerah. Dan kemudian, apabila didalam setiap
persidangan kasus korupsi timbul suatu “dagelan” mengenai
saling tuduh dan saling ingkar, yang akhirnya diperburuk lagi dengan
putusan pengadilan yang “kurang pas’ dimata umum, semakin menambah berat
permasalahannya karena faktor kolusi akan masuk didalam mekanisme
penyelesaian kasus pidana korupsi tersebut. Prinsip praduga tak
bersalah, akan “dibenarkan’ untuk menjadi tidak bersalah melalui proses
peradilan. Secara de jure memang itulah keputusannya, tetapi secara de facto masih
sangat dipertanyakan, karena didalam sistem peradilan kita tidak
diberlakukan sistem pengujian terbalik dengan cara menelusuri kembali (trace back) terhadap asal-usul kekayaan yang mereka miliki.
Sungguh merupakan satu pertanyaan yang sangat mengganggu jika kita
melihat seorang PNS golongan dan pangkat tertentu, dengan gaji yang
sudah terstruktur, dalam kenyataannya
mampu
memliki kekayaan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya.
Berdasarkan hukum positip kita harus “berpraduga tidak bersalah”
terhadap orang tersebut dan masyarakatpun tidak berhak
mempermasalahkannya, selama yang bersangkutan tidak terjerat oleh
permasalahan hukum.
Reinventing Government : Implikasi terhadap APBD
Dalam bukunya Reinventing Government, David Osborne dan Ted Gaebler (1992) mengatakan bahwa dewasa ini kita masih saja selalu bertanya, sistem anggaran manakah yang lebih baik: apakah anggaran tradisional yang line-item atau anggaran yang berdasar pada misi (mission-driven budgeting) atau bahkan anggaran berbasis kinerja (performance budgeting)?. Sistem line-item merupakan pola anggaran yang menekankan pada sisi input (gaji, belanja barang, perjalanan dinas, dan lain-lain) sedangkan anggaran kinerja lebih menekankan pada sisi output (apa
yang hendak dicapai). Pada umumnya, dalam penyusunan anggaran
pemerintah lebih memilih untuk menggunakan sistem anggaran yang line-item dengan
pertimbangan lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh pelaksana.
Menurut Osborne dan Gaebler (1992), terdapat tiga alasan mengapa hal ini
tejadi:
Pertama,
anggaran tradisional sudah lama dipakai dan diterapkan sehingga sudah
sangat melekat di pemerintahan, sehingga para birokrat kurang berminat
untuk mengganti sistem yang sudah dianggap mapan tersebut.
Kedua, keinginan
dari para politikus untuk tetap mempertahankan fungsi pengontrolan atas
beberapa pengeluaran penting yang akan lebih mudah dilakukan melalui
cara-cara anggaran yang line-item.
Ketiga, adanya
krisis kepercayaan legislatif terhadap eksekutif, dimana para anggota
legislatif selalu tidak percaya terhadap ulah para birokrat, meskipun
tindakan itu untuk memperbaiki manajemen. Sebenarnya, masalah reformasi
penganggaran (budget reform)
di pemerintahan merupakan bagian dari reformasi pemerintahan secara
keseluruhan. Reformasi penganggaran ini memfokuskan pada bagaimana
pemerintahan harus mentransformasi organisasinya, yang semula sarat
dengan peraturan perundangan, menjadi suatu organisasi yang berorientasi
pada misi dan visi yang jelas, sesuai dengan tujuan dibentuknya
organisasi tersebut.
Terdapat
tiga hal pokok yang harus ditransformasi dalam unit organisasi sektor
publik, yaitu: (1) mengubah pemerintahan yang penuh dengan peraturan
perundangan menjadi organisasi yang berorientasi pada misi, (2) mengubah
penganggaran yang line-item menjadi
penganggaran yang berorientasi pada misi, dan (3) mengubah sistem
kepegawaian yang berdasarkan pada peraturan perundangan menjadi sistem
yang berorientasi pada misi.
“........... Most public organizations are driven not by their missions, but by their
rules and their budget. They have a rule for everything that could conceivably go wrong
and a line item (budget) for every subcategory of spending in every unit of every department ..............” (Osborne & Gaebler, 1992 h. 110).
Khusus reformasi keuangan yang disebut pada butir 2, yaitu mengubah anggaran dari line item menjadi
anggaran yang berbasis misi, merupakan pekerjaan yang tidak mudah
karena menyangkut banyak aspek yang harus dipertimbangkan dengan matang.
Dalam makalahnya yang berjudul “APBD Berbasis Kinerja”, Prodjoharjono
mengungkapkan bahwa tedapat 4 (empat) pertimbangan dalam mengubah
anggaran tersebut.
Pertama, pengetahuan mengenai anggaran yang berbasis kinerja selama ini hanya populer di kalangan akademisi saja. Pengetahuan tentang Planning,Programming, Budgeting System (PPBS) dan Zero Based Budgeting (ZBB) jarang diperkenalkan kepada pejabat keuangan di daerah. Kedua, anggaran yang line item yang berbasis input sudah
menjadi tradisi di pemerintahan sejak lama. Teknik anggaran ini,
disamping mudah dipahami, juga mudah diimplementasikan baik pada saat
penyusunan anggaran maupun dalam pelaksanaan anggaran.
Ketiga, mengubah anggaran line item menjadi
anggaran kinerja juga menyangkut perubahan struktur organisasi sehingga
cocok untuk anggaran kinerja. Struktur organisasi tidak lagi
dibagi-bagi berdasarkan atas urusan yang ditangani, namun harus diubah
menjadi berbasis peranan yang diemban dalam memberikan layanan jasa
kepada masyarakat.
keempat, perubahan
dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja tidak hanya
menyangkut perubahan format anggaran, namun juga menyangkut perubahan
pola pikir (mindset) yang sangat mendasar pada setiap pelaku di Daerah (Prodjoharjono, 2001).
Anggaran Kinerja : Sebuah Gambaran Teoritis
Anggaran
kinerja mulai diimplementasikan di Amerika Serikat pada tahun 1960-an
yaitu di Departemen Pertahanan. Namun, sebenarnya sistem anggaran ini
sudah direkomendasikan oleh Hoover Commision di depan Kongres AS pada
tahun 1949. Menurut Hoover, sistem anggaran ini terbagi ke dalam tiga
elemen pokok: mengklasifikasikan program dan aktivitas pemerintahan,
pengukuran kinerja, dan penyusunan laporan kinerja (Glynn, 1993).
Pemerintah AS mengadopsi PPBS secara penuh bagi pemerintah federal di
bawah pemerintahan Presiden Johnson. Anggaran kinerja ini diintroduksi
karena adanya “kegagalan” yang melekat dalam sistem tradisional yang
antara lain berorientasi pada input dan tidak dapat menggambarkan pencapaian tujuan suatu organisasi. Disamping itu, anggaran line item juga berorientasi pada uang yang tersedia dalam anggaran, sehingga sistem anggaran hangus juga melekat didalamnya (Henley et all,
1992). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melaksanakan anggaran
kinerja dibutuhkan adanya pejabat perencana dan keuangan yang handal
karena sistem ini memerlukan analisis biaya dan manfaat, analisis biaya
efektif, serta pengukuran kinerja yang tidak mudah dilaksanakan oleh
tingkat manajemen tradisional. Langkah pembenahan dalam
mengimplementasikan PPBS terbagi atas 5 proses:
(1)
Memformulasikan tujuan umum organisasi beserta unit-unit dalam
organisasi tersebut. Prioritas tujuan mana saja yang harus dicapai
terlebih dahulu juga harus ditentukan, (2) Menetapkan dan
memperbandingkan beberapa alternatif program yang dapat dijalankan dalam
rangka pencapaian tujuan yang diinginkan dengan basis 3E’s (efektif,
efisien dan ekonomis), (3) Menghitung total biaya yang digunakan untuk
menjalankan program dan membandingkannya dengan manfaat yang akan
dicapai, (4) Memilih program yang benar-benar efisien dan efektif, dan
mengintegrasikannya ke dalam program yang menyeluruh untuk kemudian
dilaksanakan,
(5) Me-review hasil
dari pelaksanaan program berdasarkan kinerja. Namun sistem anggaran
kinerja mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: lemahnya SDM di
sektor pemerintahan, diperlukannya banyak formulir, dan sulitnya
obyektivitas dari pemilihan alternatif maupun prioritas (Jones, R,
1996).
Anggaran Daerah di Indonesia : Kondisi Pra PP 105/2000
Menteri
Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Penyusunan
APBD, sebagai petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105
tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
PP dan Kepmendagri tersebut berisi perubahan yang mendasar di bidang
pengelolaan keuangan daerah yang dulu diatur dengan PP 5/1975 dan PP
6/1975. Pada intinya, prosedur penganggaran di Indonesia menganut sistem
campuran, yaitu: untuk pos rutin menggunakan penganggaran line item yang incremental,
dan untuk pos pembangunan menggunakan penganggaran PPBS atau ZBB yang
dimodifikasi. Tetapi, khusus pada pemodifikasian PPBS atau ZBB ini, yang
dimodifikasi atau dihilangkan justru bagian yang paling penting yaitu
keharusan dibuatnya alternatif pilihan untuk menghasilkan output atau
tujuan program/kegiatan. Karena absennya pilihan alternatif ini, maka
analisis SWOT yang menjadi kunci keberhasilan PPBS atau ZBB tidak dapat
dijalankan. Hasil akhirnya tentu saja PPBS hanya merupakan suatu
saintifikasi artifisial dalam penganggaran pada pemerintah Indonesia.
Karena, untuk setiap proyek tidak ada kajian pemilihan cara yang paling
efisien, efektif dan ekonomis, sehingga akhirnya besarnya anggaran
proyek ditentukan oleh proses tawar menawar antara pihak perencana
anggaran (Bappeda) dan unit kerja yang akan mengelola proyek. Kondisi
tersebut diatas diperburuk oleh adanya kenyataan bahwa Bappeda juga
mempunyai proyek-proyek untuk dirinya sendiri yang angka penolakan (rejection rate)
nya sangat kecil karena mereka sendirilah yang akan menyetujui atau
menolak proyek tersebut. Jadi disini Bappeda memegang fungsi perencanaan
sekaligus juga berfungsi sebagai pelaksana proyek.Selain hal-hal yang
telah disebutkan diatas, kondisi APBD pra PP 105/2000 secara umum dan
singkat dapat diuraikan sebagai berikut (Prodjoharjono, 2000) :
• APBD dibagi ke dalam pos rutin dan pos pembangunan dengan kriteria yang kurang jelas.
• Standardized accounting system berlaku
secara seragam untuk pengelolaan keuangan daerah di Propinsi maupun
Kota/Kabupaten, dengan mengacu pada Manual Administrasi Keuangan Daerah
yang disusun oleh Departemen Dalam Negeri pada tahun 1980.
• Adanya sistem yang berbasis kas (cameraal stelsel); penerimaan atau pengeluaran diakui pada saat uang kas (bank notes dan coins) benar-benar telah diterima atau dibayarkan oleh Kas Daerah.
• Adanya
kebijakan sentralistik; pelaksanaan anggaran diurus secara sentral oleh
Biro/Bagian Keuangan dengan menempatkan bendaharawan-bendaharawan di
setiap unit kegiatan (rutin maupun proyek).
• Pengelolaan
keuangan di setiap unit kerja tidak efisien dan boros. Suatu unit kerja
yang mengelola 10 proyek misalnya, disamping mempunyai bendaharawan
rutin dan bendaharawan proyek, juga membutuhkan 10 pimpinan proyek dan
10 bendaharawan yang secara fungsional tidak saling berhubungan satu
sama lain.
• Administrasi
keuangan yang dikelola bendaharawan pada unit kerja atau proyek adalah
serba tertutup. Orang yang mengetahui penggunaan uang di unit kerja atau
proyek hanyalah pemimpin proyek (Pimpro) dan bendaharawan saja. Tidak
ada satu orangpun yang terlibat dalam proyek dapat mengetahui apa yang
diadministrasikan oleh bendaharawan.
• Bendaharawan
mengerjakan seluruh fungsi keuangan yang seharusnya dikerjakan secara
terpisah: penyimpanan, pengadministrasian dan pertanggunjawabannya ke
Bagian Verifikasi di Bagian/Biro Keuangan.
• Penerimaan
sumber keuangan daerah dengan menggunakan sistem target mudah
dimanipulasi dengan cara sengaja merendahkan target agar mudah dicapai,
tidak berdasarkan pada performance related revenues.
• Transfer dari rekeinng proyek di pos pembangunan ke rekening aktiva tidak ada jurnal memorialnya sama sekali
• Laporan keuangan disusun atas dasar realisasi dari setiap item anggaran, dan bukan merupakan bagian integral dari pengumpulan dan peringkasan data yang hampir semuanya dalam bentuk appendiks.
• Unit
penyusunan rencana anggaran adalah Bappeda, Biro/Bagian Binagram dan
Bagian/Subbag Anggaran di Biro/Bagian Keuangan yang semuanya juga
berfungsi sebagai pusat pengeluaran (expenditure centre), sehingga membuka peluang adanya negosiasi proyek dan marking up .(Bappeda
biasanya mempunyai proyek yang paling banyak jumlahnya; disamping
banyak proyek yang dimiliki oknum Bappeda dengan meminjam nama Dinas,
Biro atau Bagian lain).
• Adanya pengawasan berdasarkan kesesuaian (compliance) dengan peraturan perundangan tanpa melihat apakah suatu pengeluaran didasarkan atas efisiensi, efektifitas dan penghematan.
• Pelaksanaan
dianggap baik jika seluruh dana yang dianggarkan dapat terserap
semuanya (semakin boros semakin baik), sehingga hal ini dimanfaatkan
oleh proyek atau unit kerja untuk selalu menghabiskan anggaran.
• Penentuan
prioritas pengeluaran pada suatu tahun anggaran yang mestinya
didasarkan pada program jangka panjang dan menengah tidak pernah
dijalankan karena dikalahkan oleh pertimbangan pemerataan kesejahteraan
bagi seluruh unit di pemerintah daerah.
• Biaya
untuk membuat APBD sangat mahal. Dengan melihat kondisi eksisting
anggaran yang demikian rapuh tersebut, sangat wajar kalau peleksanaan
anggaran di pemerintah daerah mudah dimanipulasi dan berpotensi untuk
bocor.
PP No. 105 Tahun 2000 : Revolusi Bidang Keuangan Daerah
Dengan
dikeluarkannya PP N0. 105/2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, maka telah terjadi perubahan yang
sangat mendasar dalam bidang pengelolaan keuangan daerah yang selama ini
menganut pola sebagaimana diatur dalam PP No. 5/1975 tentang Pengurusan
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah dan PP No. 6/1975
tentang Tatacara Penyusunan Perhitungan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Perubahan-perubahan
yang mendasar tersebut antara lain :
• Penyusunan APBD berubah dari sistem tradisional yang berorientasi pada input ke anggaran kinerja, dengan input-input yang dikelompokkan dalam output yang telah ditetapkan sebagai bagian dari misi Daerah.
• Sistem
penganggaran yang berimbang dan dinamis berubah menjadi sistem anggaran
defisit, dimana pendapatan pada suatu tahun anggaran tidak harus
dihabiskan.
• Format
APBD yang semula hanya terdiri dari Pendapatan dan Belanja berubah
menjadi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Komponen terakhir ini
merupakan tempat penampungan surplus atau defisit karena adanya selisih
antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah. Dengan demikian, Pinjaman
Daerah dan Sisa Lebih Tahun Lalu yang dulu diklasifikasikan ke dalam Pos
Pendapatan Daerah, dalam sistem baru, diklasifikasikan ke dalam
transaksi Pembiayaan.
• Klasifikasi
Belanja pada APBD yang dulu dibagi ke dalam Belanja Rutin dan Belanja
Pembangunan berubah ke dalam Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi
dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal. Belanja Tidak Tersangka dan Belanja
Bantuan, Sumbangan dan Ganjaran yang dulu dimasukkan ke dalam belanja
rutin berubah menjadi pos tersendiri.
• Belanja
pada sistem APBD lama tidak dipisahkan ke dalam Belanja Aparatur dan
Belanja Publik, sementara sistem baru dipisahkan ke dalam Belanja Publik
dan Belanja Aparatur.
• Beberapa
istilah diganti. Kepala Daerah yang dulu disebut sebagai otorisator
diganti dengan istilah Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan
Daerah (PKUPKD). Satu perangkat daerah baru diperkenalkan yaitu
Bendahara Umum Daerah, yang merupakan perluasan fungsi dari Pemegang Kas
Daerah atau Kantor Kas Daerah. Akibatnya, Pemegang Kas Daerah dan
Kantor Kas Daerah tidak dikenal lagi dalam sistem yang baru. Di samping
itu, istilah Bendaharawan, baik Rutin, Pembangunan maupun Barang,
dihapus dan digantikan dengan istilah Pemegang Kas dan Pemegang Barang.
Istilah DUKDA/DUPDA juga diganti dengan Rencana Anggaran Satuan Kerja
(RASK) dan DIKDA/DIPDA diganti dengan istilah Dokumen Anggaran Satuan
Kerja (DASK). Dengan perubahan-perubahan tersebut, tampak telah terjadi
“revolusi” di bidang pengelolaan keuangan daerah. Penyusunan APBD telah
berubah ke suatu paradigma baru yang tidak saja menyangkut perubahan
format, tetapi juga menyangkut perubahan pola pikir (mindset) para pelaku penyelenggara pemerintahan Daerah.
Kepmendagri 29/2002 : Instrumen Perwujudan Good Governance
Kepmendagri
29 tahun 2002 telah ditetapkan pada tanggal 10 Juni 2002 untuk
memberikan pedoman kepada Daerah dalam menyusun peraturan perundangan di
Daerah. Kepmendagri ini merupakan petunjuk pelaksanaan PP No. 105/2000,
sehingga posisinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PP itu
sendiri. Hal ini tidak bertentangan dengan Tap MPR No. III Tahun 2000
yang menyebutkan bahwa tata urutan peraturan perundangan adalah UUD
1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Keppres, dan Perda. Keputusan Menteri
tetap mempunyai kekuatan hukum yang mengikat meskipun tidak tercantum
secara eksplisit dalam tata urutan peraturan perundangan, karena
keberadaan Keputusan Menteri dipandang dari adanya amanat pada peraturan
perundangan induknya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP). Dengan demikian
PP Nomor
105
tahun 2000 merupakan induk dari Kepmendagri nomor 29 tahun 2000.13
Kepmendagri ini disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut :
• Adanya
perubahan yang tidak drastis dan dilaksanakan secara bertahap. Hal ini
tercermin dalam pola penyusunan APBD yang pada dasarnya tetap
menggunakan sistem lama namun dengan istilah baru; penerbitan Surat
Perintah Membayar Uang (SPMU), misalnya masih sama dengan cara lama,;
dan formulir yang digunakannya pun sebagian besar masih menggunakan
format lama.
• Kode
rekening distandarisasi dan diklasifikasikan berdasarkan kewenangan
daerah yang tercantum dalam PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Propinsi Sebagai Daerah Otonom, agar penyusunan
statistik nasional menjadi lebih mudah.
• Sistem
dan prosedur tata usaha keuangan tidak diatur secara khusus, karena
disadari bahwa struktur organissi pemerintah antara yang satu dengan
yang lain berbeda-beda.
• Berisi rambu-rambu regulasi yang nantinya akan dituangkan dalam peraturan perundangan di daerah masing-masing.
• Memberikan
contoh-contoh konkrit tentang formulir, tatacara, prosedur tertentu dan
format peraturan perundangan yang akan dibuat dalam rangka melaksanakan
pengelolaan keuangan Daerah. Sebagaimana disebutkan di atas,
Kepmendagri ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari PP 105/2000. Maka
dari itu, hal-hal yang baru dalam Kepmendagri ini merupakan hal-hal
yang baru juga dalam PP 105/2000. Hal-hal yang baru tersebut antara lain
:
�� Penyusunan kode rekening mempertimbangkan pedoman dari Government Financial Statistics (GFS) untuk Pemerintah Nasional yaitu Buku Tahunan Statistik dari seluruh negara di dunia yang diterbitkan oleh IMF.
�� Anggaran
adalah berbasis kinerja dan melibatkan masyarakat secara langsung mulai
dari penjaringan aspirasi masyarakat untuk meminta pendapat atas
rancangan APBD maupun rancangan PAPBD.
�� Adanya struktur baru dalam APBD yang terdiri dari Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan.
�� Belanja
dibagi ke dalam Belanja Administrasi Umum (BAU), Belanja Operasi dan
Pemeliharaan (BOP), Belanja Modal, Belanja Tidak Tersangka dan Belanja
Bantuan Keuangan (kepada Daerah Bawahan).
�� Teknik Akuntansi berubah dari pembukuan tunggal (single entry) menjadi pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping).
�� Dasar
akuntansi berbasis kas modifikasian yaitu pencatatan sehari-hari
berdasarkan kas masuk dan kas keluar, sedangkan penutupan buku pada
akhir tahun dilakukan dengan: (1) menyesuaikan pembukuan dan (2)
mengakui adanya utang, piutang, serta aset daerah yang nantinya
dicantumkan dalam neraca.
�� Adanya
pencantuman Kebijakan Akuntansi yang dipakai oleh Pemerintah Daerah
yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Namun karena standar akuntansi ini belum ada, kebijakan
akuntansi yang dipakai oleh Daerah masih menggunakan contoh pada
lampiran Kepmendagri.
�� Adanya
pengintegrasian pencatatan akuntansi kas dan barang, sementara
sebelumnya pembukuan untuk barang belum pernah dilaksanakan.
�� Diperkenalkannya
lembaga baru yang disebut Bendahara Umum Daerah (BUD) sebagai perluasan
fungasi Kantor Kas Daerah atau Pemegang Kas Daerah (PKD). BUD mengelola
tidak hanya uang kas saja, namun juga mempunyai fungsi menyimpan bukti
kepemilikan kekayaan Daerah lainnya, misalnya BPKB, Sertifikat Tanah,
Tanda Utang, Tanda Piutang, Kontrak-kontrak dengan pihak ketiga, dan
lainlain.
�� Diperkenalkannya
lembaga nonstruktural yang disebut Satuan Pemegang Kas (SPK) sebagai
pengganti Bendaharawan Rutin dan Bendaharawan Pembangunan. SPK ini
terdiri dari seorang Pemegang Kas dan dibantu oleh sekurang-kurangnya
seorang Kasir, seorang Pencatat Akuntansi, dan seorang Pembuat Dokumen.
Dikenalkan pula SPK Pembantu yang berada di Unit Pelaksana Teknis.
�� Diperkenalkannya
Dana Depresiasi yang berasal dari penghirungan Depresiasi atas Aktiva
Tetap selain Tanah yang secara langsung digunakan untuk operasional oleh
Pemerintah Daerah. Dana ini digunakan untuk penggantian aktiva tetap
pada akhir umur ekonomis.
�� Diperkenalkannya
SPMU Giro yang tidak lagi diserahkan kepada penerima uang, namun
langsung diberikan kepada BUD, dimana nantinya BUD menerbitkan cek (cheque) yang uangnya dicairkan oleh penerima uang di bank yang ditunjuk.
Penyusunan APBD Berbasis Kinerja
Berbeda
dengan penyusunan APBD sistem lama, dalam sistem baru ini diperkenalkan
penganggaran yang berbasis kinerja dengan Rencana Strategis Daerah
(Renstrada) dan Rencana Tahunan Daerah (Rentada) sebagai dasar
penyusunan APBD. Pasal 4 ayat 2 PP No. 105 Tahun 2000 menyatakan bahwa
Daerah harus menetapkan Renstra atau dokumen perencanaan lainnya
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Kepala Daerah dilantik,
sehingga saat ini setiap Daerah dianggap sudah mempunyai Renstrada
sebagai acuan utama dalam menyusun APBD. Dalam Renstrada tersebut tentu
saja sudah ada program atau kegiatan yang akan dilaksanakan setiap tahun
meskipun sifatnya masih sangat tentatif. Proses penyusunan anggaran
diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan baik oleh
eksekutif maupun legislatif. Hal-hasil yang dihasilkan dari penjaringan
aspirasi masayarakat ini kemudian diformulasikan oleh masing-masing
pihak. Pihak eksekutif, disamping memperhatikan hasil penjaringan
aspirasi juga harus mempertimbangkan kebijakan yang berskala nasional
serta penjabaran tahunan dalam Renstrada.
Selain
itu, eksekutif juga harus mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan
tahun-tahun sebelumnya serta kapasitas Daerah dalam menghasilkan
pendapatan pada tahun yang akan datang. Hasil ini dirangkum dalam draft
Arah dan Kebijakan Umum Daerah, yang kemudian dibahas bersama-sama
dengan legislatif untuk mencapai kesepakatan. Setelah draft tersebut
disetujui oleh kedua belah pihak, maka jadilah “Arah dan Kebijakan Umum
Daerah” sebagai dokumen Rencana Tahunan Daerah (RETADA) untuk tahun yang
akan datang.
Dengan
dasar dokumen tersebut, penjabaran Retada tersebut disusun ke dalam
dokumen “Strategi dan Prioritas” sebagai dasar pelaksanaan program dan
kegiatan masing-masing Satuan Kerja yang akan dijabarkan dalam bentuk
rupiah dalam APBD. Dengan demikian, masing-masing Satuan Kerja sekarang
dapat menyusun “Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK)” yang dulu dikenal
dengan istilah DUKDA/DUPDA. RASK ini merupakan usulan program dan
kegiatan dari masing-masing Satuam Kerja. Setelah dilakukan kompilasi
atas seluruh RASK oleh Tim Anggaran Eksekutif, maka draft RAPBD disusun
guna dibahas di eksekutif dengan seksama. Hasilnya adalah berupa RAPBD
yang disampaikan kepada DPRD untuk dibahas. Sebelum mulai membahasnya,
DPRD wajib mensosialisasikan RAPBD tersebut kepada masyarakat untuk
mendapatkan masukan langsung. Masukan-masukan ini, yang bisa berasal
dari LSM, mantan pejabat Daerah atau mantan anggota DPRD, dari kalangan
akademisi, kemudian didokumentasikan dan ditata untuk dilampirkan pada
Perda tentang APBD. Berapa lama sosialisasi berlangsung diserahkan
kepada Daerah masing-masing, sesuai dengan aspirasi yang berkembang di
Daerah yang bersangkutan. Setelah melalui pembahasan antara pihak
eksekutif dan legislatif, maka RAPBD kemudian berubah menjadi APBD yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah, sedangkan penjabarannya dituangkan
dalam Keputusan Kepala Daerah. Berdasarkan Perda APBD ini, RASK yang
telah disetujui masuk dalam APBD kemudian dimasukkan ke dalam Dokumen
Anggaran Satuan Kerja (DASK) yang merupakan perubahan DIKDA/DIPDA dalam
sistem lama.
Pelaksanaan Tata Usaha dan Akuntansi Keuangan Daerah
PP
No. 105 Tahun 2000 pada dasarnya masih mengenal pemisahan fungsi
Otorisator, Ordonator dan Komptabel (Bendahara) sebagaimana dianut
sebelumnya. Hal ini terlihat pada PP tersebut yang menetapkan Kepala
Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
(PKUPKD) yang (harus) mendelegasikan kekuasaannya kepada Sekretaris
Daerah dan atau Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Fungsi minimal yang
didelegasikan adalah fungsi Bendahara Umum Daerah. Dalam konteks ini,
fungsi otorisator adalah tetap pada Kepala Daerah dan ordonatornya
adalah Biro/Bagian Keuangan atau Badan Pengelola Keuangan Daerah,
sedangkan komptabelnya adalah Bendahara Umum Daerah (BUD) dan Satuan
Pemegang Kas (SPK).
Dengan
keluarnya PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29/2002, maka
paradigma baru dalam sistem akuntansi sekaligus diciptakan. Sebagaimana
diketahui, sistem administrasi pengelolaan keuangan Daerah berdasarkan
sistem lama merupakan sistem yang terpisah dengan sistem keuangan
lainnya, seperti antara lain: sistem administrasi pendapatan daerah,
sistem administrasi unit pelayanan daerah (parkir, RS, dan sebagainya),
sistem administrasi barang daerah. Sistem-sistem tersebut sulit untuk
digabung menjadi satu sistem informasi secara terintegrasi. Maka dalam
paradigma baru nantinya, mestinya sistem pengelolaan keuangan daerah
merupakan induk dari sub-sub sistem administrasi pendapatan daerah, sub
sistem adminsitrasi unit pelayanan Daerah parkir, RS dan sebagainya),
serta sub sistem administrasi barang daerah.
Proses Perubahan Pengelolaan Keuangan Daerah : Sistem Lama ke Sistem Baru
Kepmendagri
N0. 29/2002 mengamanatkan kepada Daerah untuk secara bertahap melakukan
penilaian aset Daerah dalam rangka penyusunan neraca daerah untuk yang
pertama kalinya. Hal ini perlu dilakukan karena dalam sistem lama tidak
ada rekening neraca (real atau capital accounts)
selain kas yang eksis. Barang daerah, misalnya, tidak pernah dimasukkan
ke dalam catatan akuntansi, karena tidak ada rekening aktiva selain Kas
dalam Daftar Kode Rekening (Chart of Accounts).
Barang daerah hanya dicatat dalam Daftar Inventaris Barang yang
dikelola oleh Biro atau Bagian Perlengkapan yang orientasinya lebih
kepada safeguard atas
aset tersebut agar tidak dicuri atau diambil alih. Padahal, Biro atau
Bagian Perlengkapan mempunyai fungsi menginventarisasi barang dalam
rangka program pemeliharaan (maintenance).
Untuk itu perlu dilakukan revitalisasi fungsi akuntansi dengan
pengintegrasian pencatatan antara uang kas dan aset daerah. Prasyarat
untuk bisa mewujudkan ini adalah, mau tidak mau aset yang dicatat oleh
Biro atau Bagian Perlengkapan harus di-update dengan cara penilaian kembali terhadap aktiva tetap oleh lembaga independen yang mempunyai sertifikat di bidang penilaian aset (asset appraisers),
agar nilai yang tercantum dalam neraca akan benarbenar menggambarkan
nilai ekonomis dari aset keseluruhan milik Daerah. Sejauh ini, neraca
yang telah disusun oleh beberapa Daerah pada dasarnya merupakan neraca
sementara yang belum dapat dikategorikan sebagai neraca yang dapat
digunakan dalam rangka akuntabilitas publik. Suatu pelaporan keuangan
dikatakan baik apabila ia memenuhi kritria-kriteria tertentu, yang
antara lain: mudah dimengerti, dihasilkan dari data yang dapat
dipercaya, hanya menyajikan data keuangan yang relevan, dan menyajikan
hal-hal yang konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu,
penilaian aset harus dilakukan oleh Daerah meskipun biayanya mahal dan
memakan waktu cukup lama. Harus dimengerti bahwa kalau dibandingkan
antara manfaat dengan biayanya, maka kegunaan jangka pendek kelihatannya
sangat tidak bermanfaat, namun kalau dilihat dari kegunaan dalam jangka
panjang, maka biayayang dikeluarkan tersebut menjadi relatif kecil,
mengingat bahwa dalam jangka panjang kegunaannya sangat banyak,
misalnya: pengembangan potensi Daerah, penerbitan obligasi daerah, dan
sebagainya yang tujuannya adalah untuk memperoleh sumber dana bagi
Daerah.
Tantangan Yang Dihadapi
Upaya mewujudkan Good Government Governance sampai
sejauh ini belum terlihat kemajuannya, baik di lingkungan Pemerintah
Pusat maupun Daerah. Padahal, sudah banyak usaha dilakukan untuk
mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa, baik dengan cara
melengkapi instrumen peraturan perundangan maupun dengan beberapa
gebrakan yang dilakukan oleh sebagian kecil aparat penegak hukum dan
aparat Pemerintah Melihat materi Kepmendagri No. 29/2002 sebagaimana
diuraikan di atas, Kepmen tersebut diharapkan menjadi salah satu
instrumen dalam rangka meminimalisasi praktik KKN, sekaligus menjadi
instrumen terwujudnya Good Government Governance
(GGG), khususnya di lingkungan Pemerintah Daerah. Kepmendagri yang
merupakan petunjuk pelaksanaan PP No. 105 Tahun 2000 ini diharapkan
mampu menjawab tantangan pelaksanaan otonomi daerah, terutama di bidang
pengelolaan keuangan daerah. Namun, harus disadari bahwa pelaksanaan
transisi dari sistem lama ke sistem baru memerlukan kesabaran dan waktu
yang panjang. Perubahan format anggaran dapat dilaksanakan dalam waktu
singkat, namun perubahan pola pikir (mindset) memerlukan waktu yang relatif panjang. Beberapa tantangan utama dalam upaya mewujudkan Good Government Governance adalah transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan responsivitas. Transparansi
tidak berarti “ketelanjangan”, melainkan keterbukaan, yakni adanya
sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan
eksternal dari pemerintah. Akuntabilitas merupakan pertanggung
jawaban secara bertingkat ke atas, dari organisasi manajemen paling
bawah hingga Kepala Daerah. Akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban
secara finansial yang diberikan Kepala Daerah kepada masyarakat. Fairness merupakan
pertanggungjawaban atas pelaporan keuangan pemerintah daerah yang
berkaitan dengan rasa keadilan dalam konteks moral, sehingga diharapkan
munculnya moralitas yang tinggi dari aparat Pemerintah Daerah dalam
menjalankan pekerjaannya, baik secara internal maupun secara eksternal. Responsibilitas
merupakan pertanggung jawaban Pemerintah Daerah secara kebijakan. Dalam
konteks ini, penilaian pertanggung jawaban lebih mengacu pada etika
korporat, termasuk dalam hal ini etika profesional dan etika manajerial.
Responsivitas merupakan tingkat kepekaan Pemerintah Daerah dalam
merespon bukan saja kebutuhan publik, melainkan juga keluhan internal
dan eksternal, serta kebutuhan tak tampak yang dirasakan perlu untuk
dipenuhi. Dengan mencermati tantangan-tantangan tersebut, tampak bahwa
faktor yang krusial dalam GGG adalah akurasi dari informasi, khususnya
informasi finansial dari Pemerintah Daerah. Bahkan kalau lebih
difokuskan, inti dari Good Government Governance adalah good accounting, karena permasalahan pokok di dalam GGG adalah bagaimana perjalanan pemerintahan daerah dapat dipertanggungjawabkan, dengan bottom line berupa
pertanggungjawaban finansial. Apabila kualitas Pemerintah Daerah saat
ini dan di masa yang akan depan ditentukan oleh kualitas Good Government Governance,
sesungguhnya dapat dikatakan bahwa inti dari kualitas pemerintahan
daerah sangat ditentukan oleh kualitas pengelolaan keuangannya.
Dalam bukunya, Introduction to Management Accounting,
Horngren mengatakan bahwa sistem pengelolaan keuangan yang baik akan
membantu organisasi dalam mencapai tujuannya dengan cara menjawab tiga
jenis pertanyaan berikut :
- Scorecard questions : Am I doing well or poorly?
- Attention Directing Question : Which problem should I look into?
- Problem Solving Question : Of the several ways of doing a job, which is the best?
Informasi Scorekeeping merupakan informasi untuk pihak eksternal, informasi problem solving merupakan informasi bagi pimpinan dalam rangka perencanaan jangka panjang dan pembuatan keputusan-keputusan khusus, sedangkan perpaduan antara scorekeepingattention direction-problem solving membantu para pimpinan untuk menyusun perencanaan dan pengendalian rutin operasi.
Penutup
Di
Indonesia, sebagian besar Pemerintah Kota/Kabupaten dianggap telah
memahami mengenai sistem pengelolaan keuangan daerah, walaupun untuk
realisasinya belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Bahkan
yang muncul justru semakin maraknya berita mengenai banyaknya
penyimpangan yang tejadi di daerah, baik yang dilakukan oleh jajaran
eksekutif (Pemkot/Pemkab) maupun oleh jajaran legislatifnya (DPRD).
Kondisi ini menunjukkan bahwa fungsi kontrol yang seharusnya dilakukan
oleh jajaran legislatif (DPRD) tidak bisa berjalan dengan semestinya,
bahkan disinyalir ada persekongkolan diantara mereka, sehingga muncul
berbagai kebocoran di segala sektor.
Demikian
juga dengan keberadaan lembaga-lembaga pemeriksa keuangan yang
berfungsi melakukan pembinaan internal terhadap pelaksanaan sistem
pengelolaan keuangan daerah, juga belum menunjukkan kinerja yang
maksimal, terbukti masih banyaknya dugaan penyimpangan yang terjadi di
Daerah. Berita mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme beserta bunga
rampainya, sudah merupakan menu harian bagi masyarakat Indonesia yang
bisa dibaca, didengar dan dilihat di berbagai media yang ada. Dengan
melihat kenyataan yang ada, muncul berbagai pertanyaan yang selalu
menggelitik nurani kita, baik yang berkaitan dengan etika di dalam
pengelolaan keuangan daerah maupun etika bagi para pengelolanya.
o Apakah
para pelaksana yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah telah
bekerja tidak saja dengan kepala, tetapi juga dengan hati ?
o Apakah
pisau kompetensi yang mereka miliki telah dipergunakan untuk membedah
“pasien yang sakit” sehingga benar-benar bisa sembuh karenanya ?
o Atau apakah pisau yang sama tersebut justru digunakan untuk menikam seseorang yang nyawanya diincar ?
o Apakah
para pengelola keuangan daerah telah bekerja sebagai seorang ahli
pemerintahan saja, atau dia juga ahli pemerintahan yang berjalan sebagai
manusia dengan ketakwaan kepada Ilahi, bahwa kemampuan yang mereka
miliki haruslah untuk setinggi-tingginya digunakan untuk memuliakan
namaNya ?
Referensi
Departemen
Dalam Negeri. 2002. Kepmendagri No. 29/2002 Tentang PedomanPengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tatacara
Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD. Jakarta.
Glynn, JJ. 1993. Public Sector Financial Control and Accounting. Blackwell Business,
Oxford.
Henley, D, A Likierman, J Perrin, M Evans, I Lapsley & J Whiteoak. 1992. Public Sector Accounting and Financial Control. Chapman & Hall, London.
Horngren, Charles T. Gary L. Sundem, and William O. Stratton. 1996. Introduction to Management Accounting. Prentice Hall, New York.
Jones, R H, M Pendlebury. 1996. Public Sector Accounting., 4th edition. Pitman Publishing, London.
Osborne, D & T Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Company, London.
Prodjoharjono,
S. 2001. APBD Berbasis Kinerja : Sebuah Impian. Makalah pada Seminar di
Badan Litbang Departemen Dalam Negeri (unpublished). Jakarta.
Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar