Dalam perbandingannya dengan analisa kebudayaan
dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosianl yang telah dilakukan oleh
para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku sifatnya; yang terwujud
sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap sistem-sistem hubungan dan
konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya, dengan menggunakan
pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah untuk mendekati
sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat memahaminya, dan
menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah dihadapi oleh
Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang mungkin dapat
membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.
-->
Kemudahan ini telah juga menyebabkan terwujudnya
suatu kondisi yang menstimulasi para ahli antropologi untuk dengan mudah
terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan konsepsi-konsepsi
dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya untuk saling
dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, dan dengan menggunakan
istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai struktur sosial
menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh ahli antropologi
dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari masyarakat setempat
yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Walaupun demikian,
strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai seperangkat
manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda.
Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas
transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian
ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model
struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan
ekonomi.
Pembahasan mengenai model-model struktural
berikut ini akan mencakup: (1) model struktural yang statis; dan (2) model
struktural yang bersifat transformatif dan tiga dimensi. Dalam pembahasan
mengenai dua tipe model ini, penekanan akan diberikan pada pembahasan mengenai
empat pokok masalah: a) penggunaan simbol; b) struktur dari mediasi; c)
implikasi terhadap struktur-struktur konseptual yang dipunyai manusia; dan d)
kesanggupan untuk mengakomodasi perubahan dalam sistem sosial.
(1) Model Struktural yang Statis.
Model ini terwujud berdasarkan atas prinsip
dualisme atau oposisi binari, dan tetap menjadi landasan kekuatan bagi teori
struktural yang lebih mutakhir dan maju walaupun model ini telah dibuktikan
ketidak sempurnaannya melalui berbagai contoh yang telah diperlihatkan.
Landasan pokok dari pendekatan ini adalah bahwa proses-proses pemikiran manusia
didefinisikan berdasarkan atas adanya lawan dari sesuatu yang dipikirkan, dan
karena itu juga maka organisasi sosial manusia pada dasarnya bersifat
dualistik.
Tulisan Hertz (1909) mengenai keuniversalan dari
“kiri” dan “kanan” sebagai sistem-sistem keteraturan, merupakan suatu kerangka
dasar dari pendekatan ini. Bagi Hertz, struktur-struktur yang bersifat
dualistik itu mempunyai asal mulanya pada sifat asimetrik dari organisme tubuh
manusia (yaitu “kiri” sebagai lawan dari “kanan”), yang mana sebagai akibat dan
kelanjutannya telah dijadikan sebagai replika dalam model pemisahan oleh
Durkheim antara yang konseptual dan yang sosial dan antara suci (sacred)
dan yang duniawi (profane). Menurut Hertz (1908:8), “dualisme
merupakan sesuatu yang mendasar dan penting dalam pemikiran orang-orang
primitif, dan mendominasi organisasi sosial”, dan bahkan sebenarnya juga
terdapat dalam masyarakat modern sebagai hasil dari perkembangan evolusi
manusia. Sesungguhnya, “seluruh alam semesta ini terbagi dalam dua bidang atau
bagian” (Hertz, 1909:19).
Dalam model Hertz tersebut, upacara dan agama,
dan dengan demikian juga mitos (yang dalam konteks pembahasan ini dilihat
sebagai agama), bertindak sebagai alat untuk memperketat struktur sosial dengan
melalui pengulangan-pengulangan yang terus menerus berkenaan dengan
kategori-kategori yang secara konseptual amat mendasar, yaitu: “kiri” lawannya
“kanan”, pria lawannya wanita, suci lawannya duniawi, kita lawannya mereka, dan
sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara upacara dan agama di satu pihak
dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung.
Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan
yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan
kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.
Model yang kaku dari Hertz yang telah ditunjukkan
tersebut diatas mempunyai dua potensi yang dapat membahayakan. Pertama,
metode pengamatan yang paling sederhana dan kasar yang dapat dengan mudah
digunakan untuk mengumpulkan data mempunyai potensi atau kecenderungan untuk
dengan mudah dapat dimanipulasi guna memperoleh data pembuktian model oposisi
binari; dan kedua, kekurangan dalam hal adanya suatu proses dinamik
mengenai hubungan-hubungan di antara satuan-satuan yang bertentangan,
menyebabkan bahwa penyajian dari hasil studi struktural model ini hanya berupa
keseragaman-keseragaman gejala-gejala kebudayaan dan hanya secara samar-samar
memperlihatkan korelasinya dengan kekhususan- kekhususan kehidupan sosial dan
ekonomi. Dengan demikian, maka kontrol yang bersifat manipulatif amat penting
bagi para ahli antropologi penganut strukturalisme ini dalam hal sistem-sistem
konseptual yang mereka kembangkan.
Sesungguhnya, agak terlalu mudah untuk
mengkategorikan semua sistem-sistem simbolik dalam dua kategori atau dua bagian
saja, karena dengan demikian maka juga dengan cara ini struktur-struktur
transformatif yang bersifat vertikal dan mempersatukan berbagai tingkat
hierarki struktur sosial dan simbolik menjadi ditiadakan atau diabaikan begitu
saja. Definisi yang hanya bersifat satu atau tunggal ini dalam ruang lingkup
analitiknya dapat dibandingkan dengan cara melihat perbedaan antara teori-teori
berkenaan keturunan (descent) dan dengan pengelompokkan kekerabatan (alliance).
Teori-teori yang dikembangkan berkenaan dengan keturunan adalah bersifat
statis, sedangkan proses dinamik yang mempersatukan struktur-struktur paralel
di antara noktah-noktah yang tercakup dalam teori-teori mengenai keturunan
tersebut diatas dapat tercakup dalam teori-teori yang berkenaan dengan
pengelompokkan kekerabatan.
Perspekstif-perspektif yang lebih mutakhir
mengenai sistem agama atau sistem upacara simbolik telah berusaha untuk
mengatasi masalah yang dihadapi oleh model struktural yang statis sifatnya ini,
yaitu dengan cara menggunakan berbagai mediasi atau penghubung. Dua buah
pendekatan yang telah digunakan bagi dua bidang perwujudan struktur sosial yang
berbeda telah dilakukan oleh Cunningham dan Victor Turner.
Landasan dasar dari tesis Cunningham adalah bahwa
struktur rumah dengan berbagai bagiannya yang nyata dan yang simbolik dan
berikut dengan sistem pembagian ruang yang ada didalamnya, sebenarnya
mewujudkan dan mewakili suatu model kosmos orang Atoni, di Timor. Melalui data
etnografinya diperlihatkan oleh Cunningham akan adanya pertentangan binari
dalam rumah. Tetapi yang telah dilakukan oleh Cunningham adalah lebih dari dari
pada apa yang telah dilakukan oleh Hertz yang hanya terkungkung oleh pembatasan
pertentangan binari, yaitu dengan cara menggambarkan bahwa rumah itu sendiri
adalah semacam simbol penghubung yang melayani pengintegrasian model-model
pengklasifikasian supranatural dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari pada orang
Atoni baik pria maupun wanita melalui struktur simbolik yang ada. Dengan cara
mendefinisikan bidang-bidang kegiatan yang bersifat pertentangan antara pria
dan wanita dan antara yang keluarga dan yang bukan keluarga, struktur rumah
orang Atoni yang mencakup pembedaan-pembedaan sosial di dalamnya tersebut
berada dalam suatu sistem yang lebih luas dan bersifat simbolik; yaitu kosmos
atau alam semesta.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
Cunningham memandang simbol sebagai perwujudan penyatuan atau ekspresi-ekspresi
penyatuan yang bersifat integratif dimana kegiatan-kegiatan sekuler atau
sehari-hari merupakan kelanjutan dari dan berkaitan dengan
pengertian-pengertian kosmos atau alam semesta. Walaupun simbol-simbol itu
dihubungkan dengan kategori-kategori yang bersifat binari secara khusus, tetapi
simbol-simbol itu berada diatas dari perwujudannya yang secara analogi telah
dilakukan dengan secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam modelnya
Hertz; yaitu dengan cara menyajikan secara aktif dalam hal menghubungkan
tingkat-tingkat struktural yang konseptual sifatnya.
Lebih lanjut, menurut Cunningham, simbol-simbol
tertentu yaitu wanita-wanita dalam konteks-konteks tertentu berfungsi untuk
menghubungkan kategori-kategori yang berbeda yang ada dalam bidang yang satu
saja. Jadi, mediasi atau penghubungan antara satuan-satuan kosmos dengan
satuan-satuan sekuler (seluruh rumah, bagian-bagian dan sudut-sudut rumah),
menurut Cunningham selalu harus melalui model-model pengklasifikasian yang
berlaku. Dengan cara membatasi analisa mengenai struktur-struktur simbolik
hanya pada tingkat pengklasifikasian saja, nampak bahwa Cunningham telah
mengabaikan arti penting dari proses dan perwujudannya; sebagaimana
dinyatakannya (1972:134): “yang penting adalah prinsip-prinsip
pengkategoriasasiannya dan bukannya ekspresinya”.
Dengan cara hanya membatasi dan mengungkung
simbol-simbol penghubung pada model-model klasifikasi saja maka transformasi
yang dinamik dari konseptualisasi kebudayaan yang menciptakan dan mengaktifkan
sistem-sistem simbol menjadi ditentang atau hanya diberi peranan kecil saja.
Dengan demikian maka konsep Geertz yang menyatakan bahwa “ide” adalah yang
memberi informasi telah diabaikan dalam model mediasi dan model pertentangan
tersebut, sehingga mediasi di antara tingkat-tingkat struktur sosial yang
berbeda tetap bersifat statis. Model yang seperti ini mempunyai kapasitas yang
terbatas bila akan digunakan untuk melihat kaitan antara klasifikasi simbolik
dengan kenyataan-kenyataan sosial, kemanusiaan, dan ekonomi; dan kaitan antara
perubahan-perubahan kebudayaan dengan klasifikasi simbolik yang memberi
informasi kepada dan menjadi sumber bagi berbagai perubahan dalam kehidupan
yang nyata.
Yang telah dilakukan oleh Victor Turner dalam
melihat simbolisme dalam upacara dan agama telah memecahkan beberapa masalah
yang dihadapi oleh Cunningham seperti diuraikan tersebut diatas; tetapi secara
bersamaan telah juga menciptakan sejumlah masalah baru. Di antara sejumlah
analisa Turner mengenai struktur upacara dan isi simboliknya yang akan dikaji
adalah yang berkenaan dengan: (1) sistem dualisme dan triadisme; (2) dasar
fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai suatu konsep yang bersifat
akomodatif untuk transformasi.
Pada hakekatnya simbo-simbol itu dilihat oleh
Turner sebagai bersifat dualistik, tetapi “setiap bentuk dualisme diisi dengan
suatu model klasifikasi yang lebih luas lagi” (1967:54). Konteks dari tempat
atau kedudukan dari simbol dalam upacara menetukan corak hubungannya secara
konseptual dengan sistem simbolik dari upacara itu sendiri sebagai suatu
keseluruhan. Jadi, seperti ditunjukkan dalam contoh yang dibahas dalam
uraiannya, warna merah sebagai warna penghubung antara warna hitam dan warna
putih sebenarnya merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri. Dalam
kenyataannya, warna putih dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang paling
bertentangan, tetapi sebagai suatu sistem binari dipertentangkan dengan warna
merah sebagai dua satuan yang berbeda atau bertentangan karena warna merah
bersifat ambivalen; jadi dapat berfungsi sebagai penghubung karena sifatnya
sebagai simbol yang berciri ganda atau banci.
“Dalam abstraksi-abstraksi dari situasi-situasi
yang nyata, warna merah mempunyai kwalitas yang sama dengan warna putih dan
hitam, tetapi dalam konteks-konteks tindakan maka warna merah biasanya selalu
berpasangan dengan warna putih” (1967:74), dan keduanya secara bersama-sama
dengan demikian menjadi lawan dari warna hitam yang menjadi penting artinya
secara konseptual karena ketidak-hadirannya. Jadi menurut Turner, sistem
tersebut bersifat triadik atau segitiga dan bersifat fleksibel menurut
konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui posisinya dalam
struktur triadik, dan karenanya dapat dimanipulasi melalui ketidak-hadirannya
dan melalui sifat ambivalensi atau kebanciannya, yang ada dan yang memang
menjadi sifat hakekatnya, ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di
sekelilingnya.
Menurut Turner, hakekat bentuk simbolik yang
mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena
simbol-simbol itu bersumber pada hakekat asal mula manusia itu sendiri yang
dinamakannya sebagai dan berasal dari dalam “pengalaman biologi yang
primordial” (1967:90). Organisme tubuh manusia yang bersama-sama dengan
“pengalamannya yang penting serta penuh dengan makna” (1967:90) itu berfungsi
sebagai semacam pola yang digunakan untuk menciptkan sesuatu secara simbolik”
(1967:107) bagi kepentingan untuk mengkomunikasikan isi upacara. Dibalik
kesemuannya ini maka yang paling mendasar dari hakekat primordial dan
kemanusiaan itu adalah sistem-sistem klasifikasi, dan yang secara simbolik
telah diperluas cakupan-cakupannya; seperti yang dikatakannya: “Tidak hanya
tiga warna yang mempunyai arti sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang
mendasar yang berasal dari tubuhnya……ketiganya juga berfungsi sebagai semacam
klasifikasi primordial mengenai kenyataan…..Organisme manusia dan
pengalaman-pengalaman yang penuh dengan makna adalah sumber asal dari semua
klasifikasi” (1967:90).
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara
dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk mengantarai satuan-satuan
kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini
dapat mungkin terjadi karena kedudukan manusia sebagai makhluk hewan yang
tertinggi tingkatan kedudukannya dan karena ke-universalan dari motif-motif dan
dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia.
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara yang
berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan
pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan
simbolik dan upacara yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan
kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori
yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia
sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ-organnya,
secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk
upacara dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara
struktural.
Sumbangan utama dari Victor Turner terletak pada
usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada
dalam upacara. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan penghubung;
yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan suatu tingkat
atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan pencerminan dari
pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif
dan reflektif. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu
proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali (to
reaffirm) kategori-kategori lama yang bersifat struktural dan yang
sementara itu juga berfungsi sebagai “pusat kekuatan pendorong bagi berbagai
kegiatan” (1974:273) bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang
bersifat struktural.
Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama
waktu liminal berasal dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan
dari kategori-kategori yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan
mendefinisikan simbol-simbol tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini
adalah “mengajarkan kepada para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan
mereka dan memberikan kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk
memahaminya” (1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur
sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan
demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan
melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang
mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan
struktur sosial terletak pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan
dirinya diatas kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal
atau fase anti-struktural. Sehingga, hubungan antara upacara dengan struktur
sosial tersebut memungkinkan bagi dapat tetap hidup dan menyerapnya upacara
tersebut dalam berbagai kegiatan sekuler yang terstruktur yang terletak di luar
konteks upacara itu sendiri. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman
bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui
berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain,
upacara adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong
untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status
quo dalam pelaksanaannya. Manusia “berkembang melalui anti-struktur atau
liminalitas dan dilestarikan melalui struktur” (1974:298).
Ada beberapa masalah yang harus dihadapi dan
dipikirkan dengan sungguh-sungguh berkenaan dengan model yang telah diajukan
oleh Victor Turner tersebut. Masalah-masalah tersebut adalah: (1) Bentuk
simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk
diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya
kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada
kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang
khususnya berkenaan dengan berbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat
setempat yang diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran keagamaan; (2)
Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa
masa liminal dalam struktur upacara adalah bersifat destruktif terhadap
struktur tersebut. Karena simbol-simbol yang ada di dalam dan yang digunakan
untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus
dilihat dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si
inisiandus itu berasal dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya
tersebut. Hakekat dari masa liminal sebenarnya bersifat reflektif dan formatif,
dan hal ini akan nampak lebih jelas bila diekspresikan dengan menggunakan
referensi-referensi transformatif yang konkrit yang berasal dari atau yang ada
dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang bukan
upacara; (3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal
(yaitu setelah diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural),
dan bila inti dari motif pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan
primordial, maka dalam hal ini sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber
fungsional dari bentuk simbolik dan pemikiran keagamaan serta tindakan upacara
itu berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori
dan tingkat-tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya).
Dengan demikian maka Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan
menciptakan unsur-unsur bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau
informasi secara struktural sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar
terhadap struktur itu sendiri, memberi kesan adanya pertentangan dalam konsep-
konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi atau perantaraan maupun pendorongan
bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara struktural dan fungsional
ada dalam sistem itu sendiri.
Model-model yang telah dibahas tersebut di atas,
memperlihatkan adanya berbagai pendekatan terhadap analisa simbolik, upacara,
dan agama. Khususnya mengenai Cunningham dan Turner, karya-karya mereka itu
berkenaan dengan sistem-sistem pengekspresian kebudayaan sebagai unsur-unsur
yang terstruktur; tetapi belum atau tidak meluaskan analisa mereka mengenai
konsep-konsep dinamik dan yang mempunyai kekuatan pendorong bagi penciptaan
pada bentuk sistemik yang terwujud dalam model-model struktural mereka itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar