Kamis, 28 Maret 2013

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM DAN STRUKTUR

Dalam perbandingannya dengan analisa kebudayaan dari Geertz, studi-studi mengenai organisasi sosianl yang telah dilakukan oleh para strukturalis mempunyai ciri yang lebih kaku sifatnya; yang terwujud sebagai pendekatan rumus-rumus atau formula terhadap sistem-sistem hubungan dan konseptual yang dipunyai oleh manusia. Sesungguhnya, dengan menggunakan pendekatan struktural ini para ahli antropologi lebih mudah untuk mendekati sistem-sistem hubungan tersebut dalam usaha mereka untuk dapat memahaminya, dan menghindarkan mereka dari berbagai masalah seperti yang telah dihadapi oleh Geertz sebagaimana terwujud dalam abstraksi-abstraksinya yang mungkin dapat membingungkan seperti yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.

Kemudahan ini telah juga menyebabkan terwujudnya suatu kondisi yang menstimulasi para ahli antropologi untuk dengan mudah terlibat dalam manipulasi data yang mencakup pengungkapan konsepsi-konsepsi dari dan mengenai gejala-gejala sistematik yang ditelitinya untuk saling dihubungkan dalam struktur-struktur. Dengan kata lain, dan dengan menggunakan istilah dari Geertz, ide-ide yang memberi informasi mengenai struktur sosial menjadi bersifat antropologi karena telah dimanipulasi oleh ahli antropologi dan bukannya mengenai yang sebenarnya menjadi milik dari masyarakat setempat yang memang mempunyai struktur sosial tersebut. Walaupun demikian, strukturalisme tidak selalu dipandang sebagai suatu teori mengenai seperangkat manipulasi yang telah dilakukan pada berbagai tingkat yang berbeda. Tingkat-tingkat pendekatan struktural dibedakan oleh: (1) tingkat kapasitas transformatif dan dinamik dari para ahli antropologi yang kemudian ditransmisikan pada kebudayaan yang dikajinya; dan (2) Tingkat dimana model struktural berkorelasi dan memberi tanggap atas hubungan-hubungan sosial dan ekonomi.
Pembahasan mengenai model-model struktural berikut ini akan mencakup: (1) model struktural yang statis; dan (2) model struktural yang bersifat transformatif dan tiga dimensi. Dalam pembahasan mengenai dua tipe model ini, penekanan akan diberikan pada pembahasan mengenai empat pokok masalah: a) penggunaan simbol; b) struktur dari mediasi; c) implikasi terhadap struktur-struktur konseptual yang dipunyai manusia; dan d) kesanggupan untuk mengakomodasi perubahan dalam sistem sosial.
           
-->
(1) Model Struktural yang Statis.
Model ini terwujud berdasarkan atas prinsip dualisme atau oposisi binari, dan tetap menjadi landasan kekuatan bagi teori struktural yang lebih mutakhir dan maju walaupun model ini telah dibuktikan ketidak sempurnaannya melalui berbagai contoh yang telah diperlihatkan. Landasan pokok dari pendekatan ini adalah bahwa proses-proses pemikiran manusia didefinisikan berdasarkan atas adanya lawan dari sesuatu yang dipikirkan, dan karena itu juga maka organisasi sosial manusia pada dasarnya bersifat dualistik.
Tulisan Hertz (1909) mengenai keuniversalan dari “kiri” dan “kanan” sebagai sistem-sistem keteraturan, merupakan suatu kerangka dasar dari pendekatan ini. Bagi Hertz, struktur-struktur yang bersifat dualistik itu mempunyai asal mulanya pada sifat asimetrik dari organisme tubuh manusia (yaitu “kiri” sebagai lawan dari “kanan”), yang mana sebagai akibat dan kelanjutannya telah dijadikan sebagai replika dalam model pemisahan oleh Durkheim antara yang konseptual dan yang sosial dan antara suci (sacred) dan yang duniawi (profane). Menurut Hertz (1908:8), “dualisme merupakan sesuatu yang mendasar dan penting dalam pemikiran orang-orang primitif, dan mendominasi organisasi sosial”, dan bahkan sebenarnya juga terdapat dalam masyarakat modern sebagai hasil dari perkembangan evolusi manusia. Sesungguhnya, “seluruh alam semesta ini terbagi dalam dua bidang atau bagian” (Hertz, 1909:19).
Dalam model Hertz tersebut, upacara dan agama, dan dengan demikian juga mitos (yang dalam konteks pembahasan ini dilihat sebagai agama), bertindak sebagai alat untuk memperketat struktur sosial dengan melalui pengulangan-pengulangan yang terus menerus berkenaan dengan kategori-kategori yang secara konseptual amat mendasar, yaitu: “kiri” lawannya “kanan”, pria lawannya wanita, suci lawannya duniawi, kita lawannya mereka, dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara upacara dan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.
Model yang kaku dari Hertz yang telah ditunjukkan tersebut diatas mempunyai dua potensi yang dapat membahayakan. Pertama, metode pengamatan yang paling sederhana dan kasar yang dapat dengan mudah digunakan untuk mengumpulkan data mempunyai potensi atau kecenderungan untuk dengan mudah dapat dimanipulasi guna memperoleh data pembuktian model oposisi binari; dan kedua, kekurangan dalam hal adanya suatu proses dinamik mengenai hubungan-hubungan di antara satuan-satuan yang bertentangan, menyebabkan bahwa penyajian dari hasil studi struktural model ini hanya berupa keseragaman-keseragaman gejala-gejala kebudayaan dan hanya secara samar-samar memperlihatkan korelasinya dengan kekhususan- kekhususan kehidupan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, maka kontrol yang bersifat manipulatif amat penting bagi para ahli antropologi penganut strukturalisme ini dalam hal sistem-sistem konseptual yang mereka kembangkan.
Sesungguhnya, agak terlalu mudah untuk mengkategorikan semua sistem-sistem simbolik dalam dua kategori atau dua bagian saja, karena dengan demikian maka juga dengan cara ini struktur-struktur transformatif yang bersifat vertikal dan mempersatukan berbagai tingkat hierarki struktur sosial dan simbolik menjadi ditiadakan atau diabaikan begitu saja. Definisi yang hanya bersifat satu atau tunggal ini dalam ruang lingkup analitiknya dapat dibandingkan dengan cara melihat perbedaan antara teori-teori berkenaan keturunan (descent) dan dengan pengelompokkan kekerabatan (alliance). Teori-teori yang dikembangkan berkenaan dengan keturunan adalah bersifat statis, sedangkan proses dinamik yang mempersatukan struktur-struktur paralel di antara noktah-noktah yang tercakup dalam teori-teori mengenai keturunan tersebut diatas dapat tercakup dalam teori-teori yang berkenaan dengan pengelompokkan kekerabatan.
Perspekstif-perspektif yang lebih mutakhir mengenai sistem agama atau sistem upacara simbolik telah berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh model struktural yang statis sifatnya ini, yaitu dengan cara menggunakan berbagai mediasi atau penghubung. Dua buah pendekatan yang telah digunakan bagi dua bidang perwujudan struktur sosial yang berbeda telah dilakukan oleh Cunningham dan Victor Turner.
Landasan dasar dari tesis Cunningham adalah bahwa struktur rumah dengan berbagai bagiannya yang nyata dan yang simbolik dan berikut dengan sistem pembagian ruang yang ada didalamnya, sebenarnya mewujudkan dan mewakili suatu model kosmos orang Atoni, di Timor. Melalui data etnografinya diperlihatkan oleh Cunningham akan adanya pertentangan binari dalam rumah. Tetapi yang telah dilakukan oleh Cunningham adalah lebih dari dari pada apa yang telah dilakukan oleh Hertz yang hanya terkungkung oleh pembatasan pertentangan binari, yaitu dengan cara menggambarkan bahwa rumah itu sendiri adalah semacam simbol penghubung yang melayani pengintegrasian model-model pengklasifikasian supranatural dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari pada orang Atoni baik pria maupun wanita melalui struktur simbolik yang ada. Dengan cara mendefinisikan bidang-bidang kegiatan yang bersifat pertentangan antara pria dan wanita dan antara yang keluarga dan yang bukan keluarga, struktur rumah orang Atoni yang mencakup pembedaan-pembedaan sosial di dalamnya tersebut berada dalam suatu sistem yang lebih luas dan bersifat simbolik; yaitu kosmos atau alam semesta.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Cunningham memandang simbol sebagai perwujudan penyatuan atau ekspresi-ekspresi penyatuan yang bersifat integratif dimana kegiatan-kegiatan sekuler atau sehari-hari merupakan kelanjutan dari dan berkaitan dengan pengertian-pengertian kosmos atau alam semesta. Walaupun simbol-simbol itu dihubungkan dengan kategori-kategori yang bersifat binari secara khusus, tetapi simbol-simbol itu berada diatas dari perwujudannya yang secara analogi telah dilakukan dengan secara langsung sebagaimana yang terdapat dalam modelnya Hertz; yaitu dengan cara menyajikan secara aktif dalam hal menghubungkan tingkat-tingkat struktural yang konseptual sifatnya.
Lebih lanjut, menurut Cunningham, simbol-simbol tertentu yaitu wanita-wanita dalam konteks-konteks tertentu berfungsi untuk menghubungkan kategori-kategori yang berbeda yang ada dalam bidang yang satu saja. Jadi, mediasi atau penghubungan antara satuan-satuan kosmos dengan satuan-satuan sekuler (seluruh rumah, bagian-bagian dan sudut-sudut rumah), menurut Cunningham selalu harus melalui model-model pengklasifikasian yang berlaku. Dengan cara membatasi analisa mengenai struktur-struktur simbolik hanya pada tingkat pengklasifikasian saja, nampak bahwa Cunningham telah mengabaikan arti penting dari proses dan perwujudannya; sebagaimana dinyatakannya (1972:134): “yang penting adalah prinsip-prinsip pengkategoriasasiannya dan bukannya ekspresinya”.
Dengan cara hanya membatasi dan mengungkung simbol-simbol penghubung pada model-model klasifikasi saja maka transformasi yang dinamik dari konseptualisasi kebudayaan yang menciptakan dan mengaktifkan sistem-sistem simbol menjadi ditentang atau hanya diberi peranan kecil saja. Dengan demikian maka konsep Geertz yang menyatakan bahwa “ide” adalah yang memberi informasi telah diabaikan dalam model mediasi dan model pertentangan tersebut, sehingga mediasi di antara tingkat-tingkat struktur sosial yang berbeda tetap bersifat statis. Model yang seperti ini mempunyai kapasitas yang terbatas bila akan digunakan untuk melihat kaitan antara klasifikasi simbolik dengan kenyataan-kenyataan sosial, kemanusiaan, dan ekonomi; dan kaitan antara perubahan-perubahan kebudayaan dengan klasifikasi simbolik yang memberi informasi kepada dan menjadi sumber bagi berbagai perubahan dalam kehidupan yang nyata.
Yang telah dilakukan oleh Victor Turner dalam melihat simbolisme dalam upacara dan agama telah memecahkan beberapa masalah yang dihadapi oleh Cunningham seperti diuraikan tersebut diatas; tetapi secara bersamaan telah juga menciptakan sejumlah masalah baru. Di antara sejumlah analisa Turner mengenai struktur upacara dan isi simboliknya yang akan dikaji adalah yang berkenaan dengan: (1) sistem dualisme dan triadisme; (2) dasar fisiologi dari simbol; dan (3) liminalitas sebagai suatu konsep yang bersifat akomodatif untuk transformasi.
Pada hakekatnya simbo-simbol itu dilihat oleh Turner sebagai bersifat dualistik, tetapi “setiap bentuk dualisme diisi dengan suatu model klasifikasi yang lebih luas lagi” (1967:54). Konteks dari tempat atau kedudukan dari simbol dalam upacara menetukan corak hubungannya secara konseptual dengan sistem simbolik dari upacara itu sendiri sebagai suatu keseluruhan. Jadi, seperti ditunjukkan dalam contoh yang dibahas dalam uraiannya, warna merah sebagai warna penghubung antara warna hitam dan warna putih sebenarnya merupakan suatu sistem dualisme dalam sistemnya sendiri. Dalam kenyataannya, warna putih dan warna hitam sebagai dua puncak warna yang paling bertentangan, tetapi sebagai suatu sistem binari dipertentangkan dengan warna merah sebagai dua satuan yang berbeda atau bertentangan karena warna merah bersifat ambivalen; jadi dapat berfungsi sebagai penghubung karena sifatnya sebagai simbol yang berciri ganda atau banci.
“Dalam abstraksi-abstraksi dari situasi-situasi yang nyata, warna merah mempunyai kwalitas yang sama dengan warna putih dan hitam, tetapi dalam konteks-konteks tindakan maka warna merah biasanya selalu berpasangan dengan warna putih” (1967:74), dan keduanya secara bersama-sama dengan demikian menjadi lawan dari warna hitam yang menjadi penting artinya secara konseptual karena ketidak-hadirannya. Jadi menurut Turner, sistem tersebut bersifat triadik atau segitiga dan bersifat fleksibel menurut konteksnya. Secara konseptual simbol-simbol dilihat melalui posisinya dalam struktur triadik, dan karenanya dapat dimanipulasi melalui ketidak-hadirannya dan melalui sifat ambivalensi atau kebanciannya, yang ada dan yang memang menjadi sifat hakekatnya, ke arah simbol-simbol lainnya yang berada di sekelilingnya.
Menurut Turner, hakekat bentuk simbolik yang mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena simbol-simbol itu bersumber pada hakekat asal mula manusia itu sendiri yang dinamakannya sebagai dan berasal dari dalam “pengalaman biologi yang primordial” (1967:90). Organisme tubuh manusia yang bersama-sama dengan “pengalamannya yang penting serta penuh dengan makna” (1967:90) itu berfungsi sebagai semacam pola yang digunakan untuk menciptkan sesuatu secara simbolik” (1967:107) bagi kepentingan untuk mengkomunikasikan isi upacara. Dibalik kesemuannya ini maka yang paling mendasar dari hakekat primordial dan kemanusiaan itu adalah sistem-sistem klasifikasi, dan yang secara simbolik telah diperluas cakupan-cakupannya; seperti yang dikatakannya: “Tidak hanya tiga warna yang mempunyai arti sebagai pengalaman-pengalaman manusia yang mendasar yang berasal dari tubuhnya……ketiganya juga berfungsi sebagai semacam klasifikasi primordial mengenai kenyataan…..Organisme manusia dan pengalaman-pengalaman yang penuh dengan makna adalah sumber asal dari semua klasifikasi” (1967:90).
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara dengan demikian berfungsi sebagai jembatan untuk mengantarai satuan-satuan kenyataan-kenyataan yang ada dan berbeda-beda dari pengalaman manusia. Hal ini dapat mungkin terjadi karena kedudukan manusia sebagai makhluk hewan yang tertinggi tingkatan kedudukannya dan karena ke-universalan dari motif-motif dan dasar-dasar kognitif yang dipunyai oleh manusia.
Simbol-simbol dan struktur-struktur upacara yang berfungsi untuk menghubungkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dan pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh manusia dengan bentuk-bentuk hubungan simbolik dan upacara yang secara khusus berlandaskan pada kebudayaan dan kehidupan sosial dan ekonomi; yang dengan demikian meletakkan suatu kategori yang lebih komprehensip ke dalam suatu konsensus primordial. Tubuh manusia sebagai suatu hasil konstruksi hubungan-hubungan di antara organ-organnya, secara konseptual dapat dilihat sebagai jembatan penghubung antara bentuk upacara dengan simbolisme, dan dengan kategori-kategori sosial secara struktural.
Sumbangan utama dari Victor Turner terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada dalam upacara. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan penghubung; yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi bagi yang diinisiasi, merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif dan reflektif. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali (to reaffirm) kategori-kategori lama yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi sebagai “pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan” (1974:273) bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.
Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama waktu liminal berasal dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan dari kategori-kategori yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan mendefinisikan simbol-simbol tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini adalah “mengajarkan kepada para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan mereka dan memberikan kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk memahaminya” (1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan demikian dirubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan struktur sosial terletak pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan dirinya diatas kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal atau fase anti-struktural. Sehingga, hubungan antara upacara dengan struktur sosial tersebut memungkinkan bagi dapat tetap hidup dan menyerapnya upacara tersebut dalam berbagai kegiatan sekuler yang terstruktur yang terletak di luar konteks upacara itu sendiri. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, upacara adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya. Manusia “berkembang melalui anti-struktur atau liminalitas dan dilestarikan melalui struktur” (1974:298).
Ada beberapa masalah yang harus dihadapi dan dipikirkan dengan sungguh-sungguh berkenaan dengan model yang telah diajukan oleh Victor Turner tersebut. Masalah-masalah tersebut adalah: (1) Bentuk simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang khususnya berkenaan dengan berbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat setempat yang diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran keagamaan; (2) Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa masa liminal dalam struktur upacara adalah bersifat destruktif terhadap struktur tersebut. Karena simbol-simbol yang ada di dalam dan yang digunakan untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus dilihat dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si inisiandus itu berasal dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya tersebut. Hakekat dari masa liminal sebenarnya bersifat reflektif dan formatif, dan hal ini akan nampak lebih jelas bila diekspresikan dengan menggunakan referensi-referensi transformatif yang konkrit yang berasal dari atau yang ada dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang bukan upacara; (3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal (yaitu setelah diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural), dan bila inti dari motif pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan primordial, maka dalam hal ini sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber fungsional dari bentuk simbolik dan pemikiran keagamaan serta tindakan upacara itu berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori dan tingkat-tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya). Dengan demikian maka Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan menciptakan unsur-unsur bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau informasi secara struktural sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar terhadap struktur itu sendiri, memberi kesan adanya pertentangan dalam konsep- konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi atau perantaraan maupun pendorongan bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara struktural dan fungsional ada dalam sistem itu sendiri.
Model-model yang telah dibahas tersebut di atas, memperlihatkan adanya berbagai pendekatan terhadap analisa simbolik, upacara, dan agama. Khususnya mengenai Cunningham dan Turner, karya-karya mereka itu berkenaan dengan sistem-sistem pengekspresian kebudayaan sebagai unsur-unsur yang terstruktur; tetapi belum atau tidak meluaskan analisa mereka mengenai konsep-konsep dinamik dan yang mempunyai kekuatan pendorong bagi penciptaan pada bentuk sistemik yang terwujud dalam model-model struktural mereka itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar