TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA
“ PANCASILA DI ERA GLOBALISASI “
“ PANCASILA DI ERA GLOBALISASI “
NOER ALIE 106020254
PROGAM STUDI: MUAMALAT 2010-2011
MATERI: PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN PENGAMPU: Hj.Tri Handayani.Sh.Mh
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
Jl. Menoreh Tengah X No.22 Sampangan Semarang
PENDAHULUAN
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat
Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di
dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila
yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian
dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan
kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu
memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
Unwahas 12 desember 2010
M.NOER ALIE
BAB: Pancasila di Tengah Globalisasi
1. Pancasila
Solusi
gagasan apakah yang diberikan oleh Indonesia terhadap dunia dengan
kekacauan besar semacam itu ? Apa sajakah pokok-pokok pikiran dalam
gagasan alternatif yang dinamakan Pancasila itu. Dalam forum Sidang
Majelis Umum PBB tanggal 30 September 1960 Sukarno menyampaikan
pokok-pokok pikirannya.
Pertama :
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia meliputi orang-orang yang
menganut berbagai macam agama, meskipun demikian 85% dari sembilan puluh
juta rakyat beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan inilah maka
Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai yang paling utama dalam
falsafah hidup bangsa. Tidak seorangpun yang menerima Declaration of Indepedence, begitu pula pengikut Manifesto Komunis dalam forum PBB menyangkal adanya Yang Maha Kuasa.
Kedua :
Nasionalisme merupakan kekuatan yang membakar untuk mencapai
kemerdekaan dan mempertahankan hidup selama masa perjuangan melawan
penjajah bahkan setelah merdeka. Namun nasionalisme bukanlah
Chauvinisme, yang mengangap bangsa sendiri lebih unggul dari
bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada
bangsa-bangsa lain. Nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu
gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme. Inti sosial
nasionalisme adalah untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena
itu nasionalisme menolak imperialisme.
Ketiga: Internasionalisme.
Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan dan
pertentangan. Internasionalisme tidak dapat tumbuh dan berkembang selain
diatas tanah subur nasionalime. Itu dibuktikan dengan adanya organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme
yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme.
Internasionalisme
yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, dimana
setiap bangsa menghargai hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun
yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme merupakan
suatu tanda bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan
bertanggungjawab, telah menginggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai
rasa keunggulan nasional atau rasial.
Internasionalisme
tidak mengizinkan PBB dijadikan sebagai forum untuk tujuan-tujuan
nasional yang sempit, tujuan golongan atau tujuan mencari keuntungan
maupun prestige nasional.
Keempat:Demokrasi
bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Demokrasi
merupakan keadaan asli manusia, meskipun bersifat kondisional. Demokrasi
mengandung tiga unsur pokok. Mufakat atau kebulatan pendapat,
Perwakilan dan Musyawarah, sehingga tidak terdapat mayoritas maupun
minoritas.
Kelima : Keadilan Sosial.
Pada keadilan sosial dirangkaikan kemakmuran sosial, karena keduanya
tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat yang makmur dapat merupakan
masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam
dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti
menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan
terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang
menyusahkan dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah
saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
e. Dimensi Moral
Rumusan
Pancasila tersebut secara material memuat nilai-nilai dasar manusiawi,
yaitu nilai yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia, sesuai
dengan kodratnya sebagai manusia, sesuai dengan kecenderungan manusia
sebagai manusia (Wahana, 1993:73). Karena sifatnya tersebut Pancasila
dapat dikatakan merupakan suatu bonum honestum (nilai yang patut dikejar dan dihormati karena dirinya sendiri), bukan yang sekedar bonum utile (nilai kegunaan) atau bonum delectable (nilai yang menyenangkan keinginan dan dapat dinikmati). Sebagai bonum honestum,
Pancasila merupakan suatu nilai moral yang bersifat total, tidak
seperti nilai-nilai yang bersifat partikular. Nilai moral menyampaikan
suatu tuntunan kepada person sebagai totalitas, maka wajib untuk diberi
prioritas diatas semua nila partikular. Tindakan yang dilakukan untuk
mewujudkan nilai moral tersebut dapat disebut bernilai.
Moral (morale) berarti tata cara hidup, moral mengacu pada perilaku yang diharapkan. Menurut Lieebert, esensi moral adalah interpersonal relationship and transaction (Djahiri, 1992;6). Sedangkan menurut Piaget, morality is attitude of respect for persons and for the ruler (Duska & Whelan, 1977:8). Pengertian lain diberikan oleh Bull (1963;3) yang mengatakan bahwa moral berkaitan dengan “code of conduct in society” dan “the pursuit of the good life”.
f. Otonomi moral
Otonomi
moral merupakan istilah yang dirumuskan Kant (Bagus, 2002:766). Kant
membedakan istilah otonomi dan heteronomi moral. Heteronomi moral
berarti sikap moral di mana orang melaksanakan kewajiban bukan
berdasarkan keinsafan tetapi berdasarkan rasa takut, tertekan, takut
berdosa. Orang yang demikian hidup sesuai dengan tuntutan lingkungannya,
bukan berdasarkan kesadaran, tetapi karena takut ditegur, dimarahi,
takut berdosa. Sikap ini terwujud dalam hubungan dengan orang tua, dalam
sikap terhadap seksualitas, dalam ketaatan terhadap tuntutan agama. Ini
suatu penyimpangan dari sikap moral yang sebenarnya.
Pernyataan
sikap moral yang sebenarnya ialah otonomi moral, yang berarti orang
taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar dan insyaf. Tetapi
tidak berarti suatu sikap menutup diri. Dalam otonomi moral kita diminta
untuk rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang
ada di dalamnya. Otonomi menempatkan inti moralitas dalam sikap batin.
Otonomi
moral yang mendasarkan pada otoritas individu untuk melakukan
pertimbangan dan tindakan moral telah menjadi alasan bagi adanya gerakan
anti pendidikan moral (Chazan,1985:9). Para penganjur gerakan anti
pendidikan moral mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yang
bersifat epistemologis karena pendidikan moral diasumsikan sebagai spekulatif tidak ilmiah, tidak alamiah (”assumes
that moral education is wrong because of the speculative, non
scientific, non agreed upon nature of the contents it comes on the
young”); individualis karena asumsi bahwa manusia adalah unik (”he assumptions is that there is a unique human sphere”); sosialis karena pendidikan moral biasanya diajarkan di sekolah borjuis (”a criticism of moral education as generally practiced in contemporary bourgeous schools”); empririkal evaluatif (”that moral education…is simply not attainable in schools “) dan struktural karena sekolah dianggap manipulatif (”that schools, by the very nature of their nature, have been proven to institutions of manipulations and imposition”). Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut Durkheim justru menambahkan elemen moral dengan aspek disiplin yaitu “regularity of the conduct and authority” dan berpandangan bahwa “morality begins with membership of a group; it is not related to an act which has individual interest (alone)” .
Abdulgani
(1964:62) memaknai Moral Pancasila dalam arti kata normatif yakni
faktor yang mengharuskan manusia dalam tingkah laku kita sehari-hari,
baik sebagai pemegang kekuasaan, maupun sebagai rakyat biasa. Dengan
moral Pancasila manusia selalu bersedia mempertanggungjawabkan tingkah
laku dan sikap tindakan tersebut kepada Tuhan Yang MahaEsa; selalu
menempuh cara-cara perikemausiaan dan mengutamakan jalan musyawarah dan
mufakat; dan selalu memusatkan daya-upaya kepada terlaksananya
kebahagiaan dan keadilan di bidang rohani dan jasmani, untuk kebesaran
dan kejayaan jiwa Bangsa Indonesia.
Peneliti
berpendapat bahwa Moral Pancasila sebagaimana diungkapkan Abdulgani,
secara psikologis dapat dikategorikan sebagai sumber perilaku altruistik
dalam pengembangan kepribadian. Staub (1978) mengartikan altruisme
sebagai ” an act that is intended solely in benefit to another person
or group and which provides no material benefit to person who commits
it”. Perilaku altruistik hanya mungkin muncul dari suatu proses pembiasaan melalui pembelajaran budaya (cultural-learning).
Mussen dan Eisenberg-Berg (1977) mengatakan bahwa yang diwarisi manusia
adalah potensi atau kemungkinan mempelajari berbagai perilaku sosial.
Tapi apa yang benar-benar dipelajari tergantung pada situasi sosial.
Perilaku altruistik dan penyesuaian sosial merupakan produk dari social learning
dan bukan merupakan evolusi biologis. Evolusi sosial berdasar pada
mekanisme psikologis dan sosial, bukan pada faktor genetik (Phares,
1984:558). Mengapa manusia dapat mengembangkan suatu moralitas
altruistik, dijawab secara berbeda-beda oleh para ahli. Pandangan yang
dinamis dari psikoanalisa, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan
dengan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Piaget berpandangan bahwa
penilaian moral sebagai pengejawantahan kematangan proses perkembangan
kognitif. Nyaris berpandangan sama, Kohlberg percaya bahwa penilaian
moral seseorang muncul melalui beberapa tahap universal pada semua
kebudayaan.
Pemahaman
perkembangan moral dalam konteks psikologis demikian nampaknya belum
menjadi acuan sehingga proses penyadaran akan perlunya disiplin
tersandera pada tata tertib yang artifisial. Sebagai contoh pada sebuah
penyelenggaraan diklat sebelum pemilu 2004 kepada peserta dilakukan uji
air kemih untuk mendeteksi adanya siswa yang menggunakan narkoba melalui
Tes Urine yang diselenggarakan sebuah laboratorium kesehatan. Pada saat
itu memang gencar sekali media massa memberitakan mengenai para anggota
lembaga legislatif yang terjerumus sebagai pengguna narkoba dan
perilaku menyimpang lainnya.
Kebutuhan
akan disiplin terutama bagi para pejabat maupun politisi sangatlah
mendesak karena seperti dikatakan Padmadinata bahwa di atas demokrasi
yang diperlukan Indonesia saat ini adalah disiplin.Disiplin yang
dimaksudkannya adalah disiplin diri termasuk etika politik di dalamnya,
terutama bagi kalangan elite. Selanjutnya dikatakan bahwa bukan hanya
dari negarawan saja dituntut adanya rasa tanggungjawab publik melainkan
juga dari para politisi. Kegagalan untuk berperilaku etis ini
menyebabkan reformasi menjadi deformasi (PR, 27 Januari 2007).
Pembentukan
disiplin melalui pendidikan moral haruslah dilakukan melalui proses
pembiasaan (habituasi). Pendidikan melalui kebiasaan merupakan salah
satu metode yang dianjurkan Quthb (Sistem Pendidikan Islam, 1988: 363).
Metodologi
pembiasaan tentunya memerlukan waktu yang lama untuk ditanamkan pada
pribadi seseorang. Kaderisasi yang hanya beberapa hari tentunya tidak
dapat secara optimal menginternalisasikan nilai-nilai pada diri
seseorang. Apalagi siswa adalah orang orang dewasa yang telah memiliki
nilai yang melekat pada dirinya. Kursus kader dengan demikian hanya
mampu untuk mengingatkan pada siswa tentang nilai falsafah, ideologi
maupun moral yang sesuai dengan kepribadian sebagai kader dan
menunjukkan nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan
dengan kepribadian seorang kader. Pendidikan instant semacam ini
dikritik oleh Rendra (2000:41), tetapi tidak ada yang salah dengan
indoktrinasi karena bagi Durkheim pendidikan adalah indoktrinasi.
Menurut al Ghazali dalam Ihya Ullumudin (Hawa, 2004: 23) jiwa muda dapat
diindoktrinasi. Masalahnya adalah bagaimana indoktrinasi tersebut dapat
menyadarkan jiwa agar manusia yang memiliki hati yang sudah membatu
atau membeku sehingga nilai-nilai apapun yang diberikan mantul, berubah
menjadi hati yang rindu pada Kebenaran (Dahlan,1993:55).
g. Dimensi Ideologis
Selain sebagai nilai moral, Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi : (a) Realitas : yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa lampau; (b) idealisme : yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin diciptakan; (c) fleksibilitas
: yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional yang
menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru yang
dikehendakinya (Wahana 1993:86).
h. Epistemologi Ideologi
Untuk
memahami perekembangan ideologi kebangsaan (nasionalisme) perlu kiranya
dilakukan kajian filosofis untuk memahami posisinya dalam kehidupan
berbangsa dan pengaruhnya terhadap pengembangan kepribadian nasional
kader .
Secara
epistemologis, sejarah perkembangan filsafat pada periode modern
(1500-1800) dibagi dalam tiga babak (Pranarka, 1987:161) : masa modern
awal yakni masa antara Descartes sampai Kant; modern tengahan atau zaman
aufklarung (the enlightenment) yakni masa antara Immanuel Kant sampai Hegel dan zaman modern akhir yakni zaman idealisme dan positivisme. Masa aufklarung atau pencerahan itulah yang dikenal dengan the age of ideology. Patriotisme, nasionalisme, liberalisme dan sosialisme merupakan ideologi-ideologi yang dominan.
Ideologi muncul karena wawasan gerakan aufklarung yang bercita-cita mengubah masyarakat, menguasai dunia dan membangun dunia. Wawasan itulah yang mengubah fungsi ilmu dari statis eksplikatif untuk mengetahui menjadi dinamik pragmatik,
yaitu untuk mengubah, menguasai dan membangun. Jadi tujuan ilmu adalah
mengubah masyarakat Selain itu ilmu tumbuh semakin majemuk terutama yang
berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai manusia, dunia,
masyarakat, moral, politik, Negara dan hukum. Hal itu mendorong
tumbuhnya keinginan membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada.
Seperti
halnya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, ideologi sebagai ilmu
mengenai gagasan-gagasan pun terus berkembang mengikuti pandangan
manusia terhadap kehidupan dan permasalahannya yang memerlukan jawaban.
2 Globalisasi
McLuhan yang merupakan seorang pemikir komunikasi pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village,
namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun
80-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland
Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai
dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi (Tilaar, 1997:15).
Tabb
(2001:10) mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah
kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna. Selanjutnya dia
mengatakan bahwa:
“Istilah
tersebut berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan
masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu
bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di
bagian dunia lainnya…. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan
meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global
yang minum Coke dan menonton Disney“
Malcom
Waters dalam bukunya Globalization, membuat beberapa kemungkinan
mengenai proses mulainya globalisasi. Pertama, globalisasi muncul sejak
manusia hidup di bumi ini; kedua, globalisasi lahir sejalan modernisasi
yang dimulai dikenal peradaban Barat yang sejalan dengan perkembangan
kapitalisme, ketika, globalisasi merupakan fenomena baru yang berkaitan
dengan pascaindustri, pascamodern atau disorganisasi kapitalisme.
(Tilaar, 1997:16).
Proses
globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan
manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik, dan
budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan, produksi,
investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada arena
politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah,
organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya.
Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape),
lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap
persantaian (leisurescape).
Pandangan
Marxian menganggap arena ekonomiah yang menentukan, sedangkan pandangan
Parsonian menganggap arena budaya yang menentukan, sedangkan arena
lainnya mengikuti. Tabb (Tilaar, 2001:14) berpandangan bukan hanya pada
arena itu saja yang dipengaruhi globalisasi melainkan baik atau buruk.
Bagi mereka yang diuntungkan cenderung menyukainya dan tidak menghendaki
campur tangan pemerintah. Sementara yang berfikir bahwa mereka
dirugikan atau takut akan kehancuran dan mahalnya ongkos sosial
globalisasi akan usaha penyebaran keuntungan secara lebih fair . Tabb
mengatakan bahwa untuk menilai globalisasi, perlu dipertimbangkan
norma-norma kultural yang dihasilkan oleh proses globalisasi
kontemporer. Masalah globalisasi bukan melulu eksploitasi atau pekerja
dunia ketiga atau kerusakan lingkungan, tetapi juga proses dehumanisasi.
Globalisasi pada bidang ekonomi melahirkan negara-negara industri
raksasa dan korporasi perdagangan raksasa, di sisi lain memarjinalkan
negara-negara miskin. Globalisasi dalam bidang politik mengakibatkan
semakin berkurangnnya kekuasaan negara karena perkembangan ekonomi dan
budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan dunia dewasa ini dalam
keadaan kacau (chaos). Berkaitan dengan globalisasi terhadap
konsep etnis dan bangsa ada hal yang menarik terjadi dalam proses
tersebut, yang oleh Naisbitt (Tilaar, 2001) disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat
pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis
(etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis
kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai
budaya etnis. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers
negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa
Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh
satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai
puncak budaya etnis. Efek homogenisasi terjadi terutama karena
pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia
terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Tapi pada sisi
lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state)
yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan
bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.
Paradoks
lain yang dimunculkan oleh globalisasi adalah munculnya kesenjangan
yang semakin besar antara negara-negara maju dan negara-negara
berkembang. Di sisi lain kesenjangan itu juga terjadi di dalam
negara-negara terebut, yaitu antara masyarakat kaya dan miskin.
Kemiskinan menjadi masalah pokok yang harus diatasi oleh dunia,
sebagaimana keputusan G-7 dalam pertemuan mereka di Lyon pada akhir Juni
1996 yang menyatakan bahwa:
“Globalisation
(global economy) is source of rising living standard reaping the gains
from trade, internasional investment, and tecnological progress. For
this purpose, developing countries should make adjustment to increased
competition and special efforts to eliminate inequality”.
a. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi
yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi
perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri
individu, kelompok dan masyarakat termasuk di dalamnya kader . Untuk
mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan
kepribadian kader yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Kader partai harus
mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap
perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Heilbroner ( Tilaar,1997:34) menyatakan bahwa:
“masa
depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat
dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat
mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan
pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang
diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak
mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan
yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal
maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan
kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya
akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ketempat
yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan
di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Untuk
membangun kepribadian kader dalam menghadapi problematika yang muncul
akibat globalisasi sehingga tidak terjebak dalam arus perubahan yang
menimbulkan ketidakpastian (chaos) maka diperlukan pemberdayaan yang bertujuan menjadikan kader sebagai warga dunia yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizenship) yang menurut Rosada (2000:10) bertujuan :
“…
untuk (a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung
jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal,
nasional, regional dan global ; (b) menjadikan warga masyarakat yang
baik dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan
Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; (c) menghasilkan
mahasiswa yang berfikir komprehensif, analitis, kritis dan bertindak
demokratis, yang … akan menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tapi
sulit dikendalikan, mudah diperintah tetapi sulit diperbudak; (d)
mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan,
toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta
kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; (e)
mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen ( warga negara yang baik dan bertanggung jawab ) melalui penanaman moral dan keterampilan sosial (social skills)
sehingga kelak akan mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan
aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap
empati, menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial,
menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokrasi dalam berbagai lapangan
kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom). (Dede Rosyada et.al.,2000:10).
b. Respon terhadap Globalisasi
Kenyataan
globalisasi yang bersifat paradoksal telah memunculkan perlawanan
seperti tercermin dalam peristiwa 9/11. Di Eropa, pada dekade 1970-an,
protes terhadap penindasan dimonopoli kelompok kiri. Namun setelah
kelompok tersebut mulai melenyap di era 1990-an, maka menurut Eric
Hiariej jaringan yang tersisa adalah kelompok Islam Radikal. Hal
tersebut tercermin pada seorang mualaf Prancis yang ikut perang Bosnia.
Lionel Dumont yang mengatakan “the muslims are the only ones to fight for the system”. Atau seperti yang dikatakan Mohammad Zarif-mantan diplomat Thaliban, yang mengatakan “it
is common knowledge that American Imprealisme is the custodian of
global capitalism……..the capitalist world selected the Americans as
their watchdog on basis of their savageness in WW II” (Kompas, 6 Agustus 2005).
Kegamangan
menghadapi globalisasi yang seringkali berkonotasi pada kapitalisme dan
imprealisme, bukan hanya monopoli kelompok kiri dan Islam radikal.
Kelompok nasionalis, memiliki keprihatinan yang sama. Sukarno, dalam
pidatonya di depan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, yang diberi
judul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World Anew)
mengatakan ” Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh
beberapa bangsa besar dan kuat’. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa
yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil pun berhak bersuara
karena mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan sehingga
berhak untuk didengar karena mempunyai peranan di dunia ini dan harus
memberikan sumbangannya. Imprealisme dan perjuangan untuk
mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di dunia kita ini.
Indonesia berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik yang
sehat dan aman, di mana terdapat suasana damai dengan keadilan dan
kemakmuran untuk semua orang serta kemanusiaan dapat mencapai
kejayaannya yang penuh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 129-174).
Pidato Soekarno diperkuat dengan mengutif Al-Qur’an (S. 49: 13):
“Hai,
sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari
seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain.
Bahwasannya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah siapa yang
lebih taqwa kepadaKu”.
Tahun
1960-an ketika Soekarno menyampaikan pidatonya, dunia sedang dalam
amcaman perang nuklir akibat perseteruan antara Blok Barat yang dipimpin
Amerika Serikat da Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet. Namun Soekarno
menolak dikotomi tersebut dan menggalang kekuatan milyaran rakyat di
Asia Afrika seraya mengatakan bahwa “semua bangsa memerlukan suatu
konsepsi dan cita-cita, dan jika cita-cita dan konsepsi itu menjadi
usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya”. Konsepsi yang diperlukan yang
dimaksud Soekarno adalah Pancasila, yang dimaksudkannya sebagai
alternatif dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.
3. Declaration of Independence
Declaration of Independence
yang ditulis oleh Thomas Jefferson dan kawan-kawan yang kemudian
diadopsi oleh Kongres Kontinental ke-dua pada pertemuan di Philadelphia
pada 4 Juli 1776, merupakan pernyataan kemerdekaan AS dari penjajahan
Inggris. Deklarasi tersebut merupakan filosofi sosial politik yang
isinya mengandung pemikiran bahwa ada hukum alam (laws of nature) yang menjadi standar tolok ukur dalam penyusunan hukum; semua manusia memiliki hak-hak alamiah yang melekat (unalienable rights); di antara hak-hak asasi manusia yang terpenting adalah kehidupan, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan (Life, Liberty and pursuit of Happiness)
dan fungsi pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut. Pemerintah
mendapatkan kekuasaannya berdasarkan persetujuan yang diperintah yaitu
rakyat dan tergantung pada kontrak sosial yang dibuat, dengan perjanjian
bahwa pemerintah fungsinya sesuai dengan keinginan rakyat dan apabila
pemerintah mengingkari fungsi utamanya dan tidak melindungi hak-hak
rakyat dan tidak memberikan keamanan dan kebahagiaan (Safety and Happiness)
serta melindungi dari kekuasaan despotis yang absolut, maka rakyat
mempunyai hak atau kewajiban untuk melakukan revolusi menyingkirkan
pemerintah tersebut dan menggantikannya dengan pengawal keamanan masa
depan mereka yang baru (Enclylopedia Americana Vol. 8. 2001 : 592).
Deklarasi
yang merupakan ekspresi pemikiran AS tersebut menjunjung hak-hak
tingkat individu dalam kerangka Liberalisme. Liberalisme muncul akibat
dari perkembangan di Eropa pada abad ke-17, yang banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat Voltaire, Montesquieu, Rouseau dan John Locke.
Liberalisme dalam politik adalah doktrin bahwa undang-undang, hukum dan
politik harus mendukung kebebasan individu berdasarkan keinginan
rasional. Liberalisme berasumsi bahwa setiap individu adalah rasional,
sehingga mempunyai hak untuk menggapai keinginan-keinginannya dengan
menolak peran negara. Dalam ekonomi mereka dikacaukan dengan laissez-faire,
suatu doktrin yang menentang aturan pemerintah di bidang bisnis.
Kebebasan berbisnis yang tiada batas di dalam keterbatasan sumber daya
dan alat pemuas, dengan menjalankan pasar secara kompetitif, dan
pengesahan kepemilikan hak pribadi serta penguatan kontrak. Faham free enterprise disebut juga sebagai free private enterprise dan individual enterprise.
Secara teroretik, faham ini menghindari peran negara, namun
perlindungan kepemilikan pribadi, penguatan kontrak dan pencegahan
monopoli memerlukan peranan pemerintah. Ini semua bertentangan dengan
gagasan Adam Smith dan para pengikutnya yang bereaksi terhadap campur
tangan pemerintah dalam masalah ekonomi yang merupakan ciri abad ke-17
dan 18.
Pandangan
bahwa individu selalu bertindak rasional tidak selamanya benar,
faktanya banyak tindakan individu yang tidak rasional dan memerlukan
peranan negara untuk merasionalkannya. Kebebasan berusaha tidak
memberikan jaminan pemerataan distribusi dan pada gilirannya menimbulkan
masalah ketertinggalan sebagian masyarakat dan hanya membuat yang kaya
makin kaya dan yang miskin makin miskin.
a. Manifesto Komunis
Pada
kutub yang lain adalah Manifesto Komunis yang merupakan penjabaran
Marxisme sebagai doktrin sosial ekonomi dan program-program politiknya
(Encyclopedia Americana 2001: 439). Manifesto tersebut ditulis oleh Karl
Marx dan Friedrich Engels pada tahun 1847 dan dipublikasikan di London
tahun berikutnya sebagai Manifest der Kommunistischen Partei atau The Manifesto of Communist Party.
Manifesto
terbagi dalam empat bab. Bab Pertama menjelaskan tatanan sosial di
Eropa sejak peradaban perbudakan purba. Tatanan itu pada dasarnya berisi
sistem dimana kelas penguasa memperoleh kekuatannya dari penguasaan
alat-alat produksi. Penggunaan kekuasaan oleh kelas penguasa berakibat
pada eksploitasi ekonomi dan pemaksaan politik terhadap rakyat.
Perubahan kelas penguasa terjadi apabila ada penguasaan alat-alat
produksi yang lebih besar lagi. Perjuangan kelas antara bangsawan feodal
dan kapitalis akhir abad pertengahan nampak sebagai dinamika utama dari
sejarah masa lalu. Ekonomi menjadi faktor utama perkembangan politik.
Atas dasar itu maka ilmu pengetahuan dapat memahami dorongan sejarah dan
konsepsi yang realistik dapat dibuat.
Kesimpulan
yang didapat adalah bahwa komunisme dapat dilaksanakan sebagai pranata
sosial ekonomi dengan produktifitas yang tidak terbatas asalkan tidak
ada kepemilikan perorangan pada alat produksi, suatu tatanan tanpa
kelas, perjuangan kelas, eksploitasi dan penindasan. Ketika kepemilikan
pribadi kapitalis dan persaingan menghambat pendekatan produksi secara
kolektif, maka kelas pekerja akan menyatukan diri untuk mengeliminasi
sistem kelas.
Pada
Bab Kedua, berisi kelanjutan perkembangan gagasan dalam kerangka
strategi politik, polemik ideologis, dan sikap psikologis. Bab Ketiga
dicurahkan untuk mengkritik aliran-aliran sosialis atau komunis lainnya.
Bab Keempat merupakan suatu komentar singkat tentang kelompok-kelompok
politik pada masa itu.
Komunisme pada
dasarnya adalah suatu istilah umum untuk menggambarkan suatu teori atau
sistem organisasi sosial yang berdasar atas pandangan bahwa semua
kepemilikan adalah milik umum. Secara khusus komunisme dapat dikaitkan
dengan doktrin yang mendorong gerakan revolusioner yang tujuannya adalah
menghapuskan kapitalisme dan akhirnya mendirikan suatu masyarakat di
mana barang-barang dimiliki bersama dan aktifitas ekonomi direncanakan
dan dikontrol secara sosial, sedangkan pendistribusiannya sesuai dengan
kapasitas individu maksimal yang diberikan dan sesuai kebutuhan
masimalnya (from each according to his capacity, to each according to his needs).
Komunisme dibedakan dengan sosialisme dari tujuannya, yang melalui
metode demokratis dan konstitusional menasionalisasi secara gradual
hanya terhadap alat-alat produksi yang esensial dan mengatur distribusi
secara adil pada setiap orang sesuai besaran dan mutu pekerjaannya (to each person for amount and quality of his or her work).
Somerville
(Encyclopedia Americana vol. 7, 2001:439) mengatakan bahwa beberapa
gagasan manifesto yang dituangkan ke dalam platform partai hanya menarik
sebagai kajian sejarah dan beberapa program politik yang disampaikan
dalam manifesto tersebut ketinggalan zaman. Dua puluh lima tahun
kemudian Marx melihat perkembangan sistem demokrasi parlementer bahwa
tujuan-tujuan buruh dapat dicapai melalui parlemen, bahkan untuk
perubahan radikal sekalipun.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya membaca untuk
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah
ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Unwahas 12 desember 2010
M NOER ALIE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar