Bab I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Banyak pengertian inflasi yang dapat kita jumpai
pada beberapa sumber. Dari beberapa sumber tersebut ada yang menyatakan Inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus
menerus. kenaikkan harga dari satu atau
dua barang saja tidak di sebut inflasi, kecuali bila kenaikkan tersebut meluas
atau mengakibatkan kenaikkan kepada sebagian besar dari harga barang-barang
lain. Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus menerus juga perlu di
ingat. Kenaikkan harga-harga karena, misalnya, musiman, menjelang hari hari
besar, atau yang terjadi sekali saja. dan tidak mempunyai pengaruh kelanjutan
tidak disebut inflasi. Kenaikkan harga semacam ini tidak dianggap sebagai
masalah atau penyakit ekonomi dan tidak memelurkan kebijaksanaan khusus untuk
menanggulanginya. Perkataan “kecenderungan“ dalam definisi inflasi perlu
digaris bawahi. Kalau seandainya harga-harga dari sebagian besar barang di atur
atau ditentukan oleh pemerintah, maka barang-barang yang di catat oleh biro
statistik mungkin tidak menunjukkan kenaikkan apapun (karena yang di catat
adalah harga-harga “resmi” pemerintah). Tetapi mungkin dalam realita ada kecendrungan
bagi harga- harga untuk terus menaik. Keadaan seperti ini tercermin dari adanya
harga-harga “bebas” atau harga-harga “tidak resmi” yang lebih tinggi dari
harga- harga “resmi”dan ada yang cendrung menaik. Dalam hal ini masalah inflasi
sebetulnya ada, tetapi tidak di perkenankan untuk menunjukkan dirinya. Keadaan
seperti ini disebut“suppressed infation” atau “inflansi yang di tutupi” yang
pada sewaktu-waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga resmi
makin tidak relevan bagi kenyataan.
I.II Pengertian
Inflasi
Berbagai definisi tentang inflasi telah dikemukakan
oleh para ahli. BPS (2000: 10)
mendefinisikan inflasi sebagai salah satu indikator untuk melihat stabilitas
ekonomi suatu wilayah atau daerah yang menunjukkan perkembangan harga barang
dan jasa secara umum yang dihitung dari indeks harga konsumen. Dengan demikian
angka inflasi sangat mempengaruhi daya beli masyarakat yang berpenghasilan
tetap, dan di sisi lain juga mempengaruhi besarnya produksi barang.
Menurut Rahardja (1997: 32) inflasi adalah
kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, tetapi
jika kenaikan meluas kepada sebagian besar harga barang-barang maka hal ini
disebut inflasi.
Sementara itu Eachern
(2000: 133) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan terus-menerus dalam
rata-rata tingkat harga. Jika tingkat harga berfluktuasi, bulan ini naik dan
bulan depan turun, setiap adanya kenaikan kerja tidak berarti sebagai inflasi.
Sedangkan Sukirno (2004: 27)
memberikan definisi bahwa inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang
berlaku dalam suatu perekonomian. Selanjutnya Nanga (2001: 237) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu gejala di
mana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan
tingkat harga umum yang terjadi sekali waktu saja tidaklah dapat dikatakan
sebagai inflasi. Tidak ada perbedaan seperti pengertian diatas Boediono (1982:
155). memberikan devinisi sebagai berikut Inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bilakenaikan tersebut
meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga
barang-barang lain, Dalam praktek, inflasi dapat di amati dengan mengamati
gerak dari indek harga. Tetapi di sini harus di perhitungkan ada
tidaknya suppressed inflation (inflasi yang ditutupi).
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan
di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum inflasi adalah suatu
gejala naiknya harga secara terus-menerus (berkelanjutan) terhadap sejumlah
barang. Kenaikan yang sifatnya sementara tidak dikatakan inflasi dan kenaikan
harga terhadap satu jenis komoditi juga tidak dikatakan inflasi.
I.III Macam-Macam
Inflasi
1. Berdasarkan tingkat kualitas parah atau tidaknya Ada
beberapa inflasi berdasarkan tingkat kualitas parah yaitu:
a)
Inflasi ringan
Inflasi ringan atau inflasi merangkak (creeping
inflation)adalah inflasi yang lajunya kurang dari 10% per tahun,inflasi seperti
ini wajar terjadi pada negara berkembang yang selalu berada dalam proses
pembangunan.
b)
Inflasi sedang
Inflasi ini memiliki ciri yaitu lajunya berkisar
antara 10% sampai 30% per tahun.Tingkat sedang ini sudah mulai membahayakan
kegiatan ekonomi. Perlu diingat laju inflasi ini secara nyata dapat dilihat
garak kenaikan harga. Pendapatan riil masyarakat terutama masyarakat yang
berpenghasilan tetap seperti buruh, mulai turun dan kenaikan upah selalu lebih
kecil bila dibandingkan dengan kenaikan harga.
c)
Inflasi berat
Inflasi berat adalah inflasi yang lajunya antara 30%
sampai 100%. Kenaikan harga sudah sulit dikendalikan. Hal ini di perburuk lagi
oleh pelaku-palaku ekonomi yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan spekulasi.
d) Inflasi
liar (hyper inflation)
Inflasi liar adalah inflasi yang lajunya sudah
melebihi dari 100% per tahun. Inflasi ini terjadi bila setiap saat harga-harga
terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama
disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hyperinflastion).
Sedangkan menurut Ekonom Islam Taqiyuddin Ahmad ibn
al-Maqrizi (1364 – 1441 M), yang merupakan salah satu murid dari ibnu Khaldun,
menggolongkan inflasi dalam dua golongan yaitu:
1. Natural
Inflation
2. Human
Error Inflastion
I.IV Faktor-Faktor
Pemicu tingkat Inflasi
Faktor-Faktor Pemicu tingkat Inflasi
Laju kenaikan tingkat inflasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagian
ditentukan dari sudut pandang teori inflasi yang dianut. Pada kasus
perekonomian di Indonesia paling tidak terdapat beberapa faktor yang baik
secara langsung maupun secara psikologis dapat mendorong trend kenaikan tingkat
inflasi. Faktor ekonomi dan non-ekonomi yang diperkirakan mempengaruhi tingkat
inflasi di negara kita antara lain dapat di identifikasi berikut ini:
(1) Adanya peningkatan jumlah uang beredar.
Peningkatan jumlah uang beredar ini di Indonesia disebabkan antara lain oleh
peristiwa: Kenaikan harga migas di luar negeri Meningkatnya bantuan luar negeri
Masuknya modal asing, khususnya investasi portfolio di pasar uang Meningkatnya
anggaran Pemerintah secara mencolok Depresiasi nilai Rupiah dan gejolak mata
uang konvertibel
(2) Adanya tekanan pada tingkat harga umum, yang
dapat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian berikut ini: Penurunan produksi pangan
akibat musim kering yang berkepanjangan Peningkatan harga komoditi umum secara
mendadak Pencabutan program subsidi BBM Kenaikan harga BBM yang mencolok
Kenaikan tarif listrik
(3) Kebijakan Pemerintah dalam mendorong kegiatan
ekspor non-migas; maupun kebijakan lainnya yang bersifat distortif seperti
antara lain: Lonjakan inflasi setelah dikeluarkannya kebijakan devaluasi
Kebijakan tata niaga yang menciptakan pasar yang oligopolistis dan monopolistis
Pungutan-pungutan yang dikenakan dalam perjalanan lalu lintas barang dan
mobilitas tenaga kerja Kebijakan peningkatan tingkat upah minimum regional
(4) Peningkatan pertumbuhan agregat demand yang
dipicu oleh perubahan selera masyarakat, atau kebijakan pemberian bonus
perusahaan dan faktor spekulatif lainnya: Pemberian bonus THR mendekati
jatuhnya Hari Raya. Pemberian bonus prestasi perusahaan Perkembangan pusat
belanja yang ekspansif dengan mematikan fungsi keberadaan pasar tradisional di
lokalitas tertentu.
Menurut hasil study empiris yang dilakukan oleh Sri
Mulyani Indrawati (1996),adalah:
Pertama, imported inflation ini terjadi akibat tingginya
derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia terhadap barang-barang impor,
baik capital goods;intermediated good; maupun row material. Transmisi
imported inflation di Indonesia ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi
rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan harga barang impor di negara
asalnya. Bila suatu ketika terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap
mata uang asing, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang
harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang
perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah
dilakukan.
Hal ini menyebabkan harga jual output didalam negeri
(khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga
potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. Tetapi,
untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi tersebut tidak
akan membawa dampak buruk yang signifikan.
Kedua, administrated goods adalah barang-barang yang
harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun pengaruhnya secara
langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi, tetapi secara
situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi signifikan.
Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM yang naik,
harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut dinaikan
oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan antara actual output
(output yang diproduksi) dengan potential output (output yang seharusnya
dapat diproduksi dalam keadaan full employment). Adanya kesenjangan
(gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang dipakai dalam proses
produksi belum maksimal atau efisien.
Keempat, interest rate juga merupakan faktor penting
yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang pada awalnya merupakan hal
yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah yang menjadi independent
variable atau dependent, antara inflasi dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik
dari sisi biaya produksi dan investasi (sisi penawaran), maka jelaslah
bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam komponen biaya-biaya tersebut.
Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga perbankan di Indonesia, menyebabkan
biaya produksi dan investasi di Indonesia, yang dibiayai melalui kredit
perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat suku bunga meningkat, maka
biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan meningkatkan pula harga output
di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat
suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest rate- price spiral.
BAB II
DAMPAK,
PENCEGAHAN DAN CARA PENGENDALIAN
II.II Apa Saja Dampak
dan Pengaruh Inflasi?
Dampak
inflasi terhadap perekonomian yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada
tingkat kemakmuran masyarakat, berikut ini dampak negatif dari inflasi:
1.Bila harga
barang secara umum naik terus-menerus, maka masyarakat akan panik, sehingga
perekonomian tidak berjalan normal, karena di satu sisi ada masyarakat yang
berlebihan uang memborong barang, sementara yang kekurangan uang tidak bisa membeli barang, akibatnya negara rentan
terhadap segala macam kekacauan yang ditimbulkannya.
2.Sebagai akibat dari kepanikan tersebut maka masyarakat
cenderung untuk menarik tabungan guna membeli dan menumpuk barang sehingga
banyak bank di rush, akibatnya bank kekurangan dana dan berdampak pada tutup
atau bangkrut, atau rendahnya dana investasi yang tersedia
3.Produsen cenderung memanfaatkan kesempatan
kenaikan harga untuk memperbesar keuntungan dengan cara mempermainkan
harga di pasaran, sehingga harga akan terus menerus naik.
4. Distribusi barang relatif tidak adil karena
adanya penumpukan dan konsentrasi produk pada daerah yang masyarakatnya
dekat dengan sumber produksi dan yang masyarakatnya memiliki banyak uang.
5. Bila inflasi berkepanjangan, maka produsen banyak
yang bangkrut karena produknya relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada
yang mampu membeli.
6. Jurang antara kemiskinan dan kekayaan masyarakat
semakin nyata yang mengarah pada sentimen dan kecemburuan ekonomi yang
dapat berakhir pada penjarahan dan perampasan.
7. Dampak positif dari inflasi adalah bagi pengusaha
barang-barang mewah (highend)yang mana barangnya lebih laku pada saat harganya
semakin tinggi (masalah prestise).
8. Masyarakat akan semakin selektif dalam
mengkonsumsi, produksi akan di usahakan seefisien mungkin dan konsumtifisme
dapat ditekan.
9. Inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan
industri kecil dalam negeri menjadi semakin dipercaya dan tangguh.
10. Tingkat pengangguran cenderung akan menurun
karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan
cara mendirikan atau membuka usaha,(Putong (2002: 263-264)
II.III Teori Pengendalian
Inflasi di Indonesia
Inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan
oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila di bandingkan dengan hal-hal
yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa di katakan, bahwa pengaruh
dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull
inflation. Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat
terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya
jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya
pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih
terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat,
contohnya di sub sector pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak
menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga
umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai
alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement.
Tetapi perlu di ingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk
mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan pada
negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara
berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi,
apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam
mengendalikan inflasi dinegara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan
problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka
panjang. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang
selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan
harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar
negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi,
maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap
valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia
cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas
moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat
para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia
melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum. Tight money
policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open
market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money
suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor
riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest
rate-price spiral.
Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan
sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi
atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka
akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi
nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif
spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan
kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan
nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh
pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi
ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak. Jika demikian
halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan
melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang
kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi
hambatan-hambatan struktural yang ada. Dengan berpedoman pada berbagai hambatan
dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka
perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu:
1. Meningkatkan Supply Bahan Pangan(MSBP) dapat
dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor
pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi
dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu
dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta
swasembada pangan.
2. Mengurangi Defisit APBN Mungkin dalam masa krisis
ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapatdilaksanakan, tetapi dalam jangka
panjang (setelah krisis berlalu) perlu dilakukan.Untuk mengurangi defisit
anggaran belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya,
terutama dari sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga
dapat menekan excess demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalamnegeri,
diharapkan pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman
dana dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya
akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent
3. Meningkatkan Cadangan Devisa Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri (current
account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit.
Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan.
Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus
semakin meningkat. Kedua, di usahakan
agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestic
terhadap barang-barang luar negeri, misalnya
dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah
sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai bahan baku
bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang
mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam negeri. Ketiga, mengubah sifat industri dari
yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi ekspor,
agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export. Keempat, membangun industri yang mampu
menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal
yang relatif tinggi pula.
4. Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi
Penawaran Agregat Pertama, mengurangi
kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya
pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur
nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua,
memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi
kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga
danmenyehatkan perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi
nasional. Keempat, menciptakan
kondisi yang sehat dalam perekonomian agar market mechanism dapat
berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan menghilangkan segala bentuk
faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil
karena acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
II.IV Cara Mencegah dan Mengatasi
Inflasi
Dengan menggunakan persamaan Irving Fisher MV=PQ,
dapat dijelaskan bahwa inflasi timbul karena MV naik lebih cepat dari pada Q.
Jadi untuk mencegah inflasi variabel V harus dikendalikan, lalu volume Q
ditingkatkan. Untuk mengatur M, V, dan Q dapat dilakukan dengan berbagi
kebijakan (Nopirin, 2005: 34-35), yaitu:
1.Kebijaksanaan
Moneter
a.
Mengatur jumlah
uang yang beredar (M). Salah satu komponennya adalah uang giral. Uang giral
dapat terjadi dalam dua cara, yaitu seseorang memasukkan uang kas ke bank dalam
bentuk giro dan seseorang memperoleh pinjaman dari bank berbentuk
giro, yang kedua ini lebih inflatoir. Bank sentral juga dapat
mengatur uang giral dengan menaikkan cadangan minimum, sehingga uang
beredar lebih kecil. Cara lain yaitu menggunakan discount rate.
b.
Memberlakukan
politik pasar terbuka (jual/beli surat berharga), dengan menjual surat
berharga, bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar.
2. Kebijakan Fiskal
Dengan cara pengurangan pengeluaran pemerintah serta
menekan kenaikan pajak yang dapat mengurangi penerimaan total, sehingga
inflasi dapat ditekan.
3. Kebijakan yang Berkaitan dengan Output
Dengan menaikkan jumlah output misal dengan cara
kebijaksanaan penurunan bea masuk sehingga impor barang meningkat atau penaikan
jumlah produksi, bertambahnya jumlah barang di dalam negeri cenderung
menurunkan harga.
4. Kebijaksanaan Penentuan Harga dan Indexing
Dengan penentuan ceiling harga, serta mendasarkan
pada indeks harga tertentu untuk gaji/upah (dengan demikian gaji/upah
secara riil tetap). Kalau indeks harga naik, maka gaji/upah juga naik, begitu
pula kalau harga turun.
5.Sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti
penyehatan, pembersihan,reorganisasi. Kebijakan sanering antara lain: Penurunan
nilai uang, Pembekuan sebagian simpanan pada bank ± bank dengan ketentuan bahwa
simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh
pemerintah.
6.Devaluasi
Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam
negeri terhadap mata uang luar negeri. Jika hal tersebut terjadi biasanya
pemerintah melakukan intervensi agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil.
Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan menurunnya nilai uang satu
negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan
pemerintah menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing
BAB III
LAPORAN INFLASI (Indeks Harga Konsumen)
III.I Berdasarkan perhitungan inflasi tahunan
NO
|
Tahun
|
Tingkat Inflasi Tertinggi
|
Tingkat Inflasi Terendah
|
1
|
2012
|
Oktober 4.61 %
|
Februari 3.56 %
|
2
|
2011
|
Mei 5.98 %
|
Desember 3.79 %
|
3
|
2010
|
Desember 6.96
%
|
Maret 3.43 %
|
4
|
2009
|
Januari 9.17 %
|
November 2.41 %
|
5
|
2008
|
September 12.14 %
|
Januari 7.36
%
|
6
|
2007
|
September 6.95 %
|
Juni 5.77 %
|
7
|
2006
|
Februari 17.92 %
|
November 5.27 %
|
8
|
2005
|
November 18.38 %
|
Februari 7.15 %
|
9
|
2004
|
Juli 7.20 %
|
Februari 4.60 %
|
10
|
2003
|
Januari 8.68 %
|
Desember 5.16 %
|
Sumber Data Inflasi (BI) Bank Indonesia
BULAN
|
TAHUN 2002
|
TAHUN 2003
|
TAHUN 2004
|
TAHUN 2005
|
TAHUN 2006
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
|
Jan
|
1.99
|
0.8
|
0.57
|
1.43
|
1.36
|
Feb
|
1.5
|
0.2
|
-0.02
|
-0.17
|
0.58
|
Mar
|
-0.02
|
-0.23
|
0.36
|
1.91
|
0.03
|
Apr
|
-0.24
|
0.15
|
0.97
|
0.34
|
0.05
|
Mei
|
0.8
|
0.21
|
0.88
|
0.21
|
0.37
|
Jun
|
0.36
|
0.09
|
0.48
|
0.5
|
0.45
|
Jul
|
0.82
|
0.03
|
0.39
|
0.78
|
0.45
|
Agt
|
0.29
|
0.84
|
0.09
|
0.55
|
0.33
|
Sep
|
0.53
|
0.36
|
0.02
|
0.69
|
0.38
|
Okt
|
0.54
|
0.55
|
0.56
|
8.7
|
0.86
|
Nov
|
1.85
|
1.01
|
0.89
|
1.31
|
0.34
|
Des
|
1.2
|
0.94
|
1.04
|
-0.04
|
1.21
|
Tahunan
|
10.03
|
5.06
|
6.4
|
17.11
|
6.6
|
BULAN
|
TAHUN 2007
|
TAHUN 2008
|
TAHUN 2009
|
TAHUN 2010
|
TAHUN 2011
|
TAHUN 2012
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
INFLASI
|
|
Jan
|
1.04
|
1.77
|
-0.07
|
0.84
|
0.89
|
0.76
|
Feb
|
0.62
|
0.65
|
0.21
|
0.3
|
0.13
|
0.05
|
Mar
|
0.24
|
0.95
|
0.22
|
-0.14
|
-0.32
|
0.07
|
Apr
|
-0.16
|
0.57
|
-0.31
|
0.15
|
-0.31
|
0.21
|
Mei
|
0.1
|
1.41
|
0.04
|
0.29
|
0.12
|
N.A
|
Jun
|
0.23
|
2.46
|
0.11
|
0.97
|
0.55
|
N.A
|
Jul
|
0.72
|
1.37
|
0.45
|
1.57
|
0.67
|
N.A
|
Agt
|
0.75
|
0.51
|
0.56
|
0.76
|
0.93
|
N.A
|
Sep
|
0.8
|
0.97
|
1.05
|
0.44
|
0.27
|
N.A
|
Okt
|
0.79
|
0.45
|
0.19
|
0.06
|
-0.12
|
N.A
|
Nov
|
0.18
|
0.12
|
-0.03
|
0.6
|
0.34
|
N.A
|
Des
|
1.1
|
-0.04
|
0.33
|
0.92
|
0.57
|
N.A
|
Tahunan
|
6.59
|
11.06
|
2.78
|
6.96
|
3.79
|
1.09
|
III.II Permasalahan
pada data tersebut (Inflasi)
Berdasarkan data di atas, secara berturut turut
inflasi di Indonesia pada tahun 2002 sampai tahun 2003 mengalami penurunan,
yaitu sebanyak 10,03; 5,06; 6,4 . Setelah itu terjadi peningkatan Inflasi pada tahun
2004, sebanyak 6,4. Kemudian terjadi peningkatan inflasi secara drastis pada
tahun 2005, sebanyak 17,1. Setelah itu terjadi penurunan inflasi kembali pada
tahun 2006 sebanyak 6,6. Pada tahun 2007 terjadi penurunan inflasi, namun tidak
begitu banyak, yaitu sebanyak 6,59. Pada tahun 2008 dan 2009, secara
berturut-turut terjadi peningkatan dan penurunan inflasi, yaitu pada 2008
terjadi inflasi sebanyak 11,6, dan pada 2009 sebanyak 2,7. Kemudian pada tahun
2010 terjadi peningkatan inflasi lagi lalu pada tahun 2011 dan 2012 mengalami
penurunan. Secara berturut-turut jumlah inflasi pada tahun 2010,2011,dan 2012
sebanyak 6,9 ;3,7 ; 1,9
III.III Analisis
Permasalahan
Berdasarkan permasalahan diatas, terjadinya
peningkatan inflasi pada tahun-tahun tertentu dapat disebabkan oleh dua hal,
yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua
adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau kurangnya distribusi (kurangnya
produksi (product or service) dan/atau juga termasuk distribusi). Untuk sebab
pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank
Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam
kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government)
seperti fiskal (perpajakan / pungutan / insentif / disinsentif), kebijakan
pembangunan infrastruktur,regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan terjadi akibat adanya
permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya
likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu
perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas
yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan
bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya
permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor
produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam
permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full
employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas
dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh
banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur
peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi
spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan
Inflasi desakan biaya terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau
juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak
ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran
distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata
permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum
permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian
yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.
Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya
masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam,
cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi
spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait
tersebut di pasaran.
BAB IV
IV.I Kesimpulan
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang
saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau
mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain.
Inflasi digolongkan menurut beberapa cara, dapat
menurut laju inflasi (ringan, sedang, berat, hiper inflasi), sebab awalnya
(demand atau cost inflation), asalnya (domestic atau imported inflation).
Ada 3 teori utama mengenai inflasi. Teori Kuantitas
menekankan bahwa penyebab utama inflasi adalah pertambahan jumlah uang beredar
dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. Teori
Keynes: inflasi terjadi karena masyarakat hidup diluar batas kemampuan
ekonomisnya.. Teori strukturalis: sebab inflasi adalah dari kekakuan struktur
ekonomi.
Biaya Inflasi. Biaya Inflasi yang diharapkan muncul
adalah: Shoe leather cost, Menu cost,Complaint and opportunity loss cost, Biaya
perubahan peraturan/undang-undang pajak, dan Biaya ketidaknyamanan hidup. Biaya
inflasi yang tidak diharapkan: Redistribusi pendapatan antara debitor dengan
kreditor dan Penurunan nilai uang pensiunan. Dampak inflasi antara lain negara
rentan timbul kekacauan, masyarakat menarik tabungan, bank kekurangan dana dam
bangkrut, harga semakin naik, distribusi barang tidak adil, produsen bangkrut,
dampak positifnya adalah masyarakat semakin selektif memilih barang,
menumbuhkan industri kecil, dan pengangguran berkurang karena banyak
wirausahawan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi inflasi
adalah yang berkaitan dengan Kebijaksanaan Moneter, Kebijakan Fiskal, Kebijakan
yang Berkaitan dengan Output, Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing,
Sanering, dan Devaluasi
Dua hal penyebab meningkatnya inflasi di tahun-tahun
tertentu, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan
yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau kurangnya distribusi
(kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk distribusi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar